HARI ini kerap di dengar perkataan orang mengatakan ‘mari bersalam dengan Tuan Guru, ada keberkahan’ . Maka ada yang memeluk ulama, mencium tangannya, meminum sisa air minumnya dan menghabiskan makanan sang ulama kerana hendak mendapat berkah. Berkah itu ialah kebaikan, keselesaan, kesenangan dan lain-lain keindahan yang dinikmati di dunia dan akhirat kelak. Ada pula yang menjual air dalam botol dengan mengatakan air itu sudah dibacakan oleh pelajar-pelajar tahfiz yang dipercayai ada keberkahannya tersendiri. Kerana yang berkata ialah orang agama dan baru saja memberi ceramah, maka lakulah air minum itu.
Baguslah diperhatikan ‘berkah’ atau tidak itu berdasarkan sunah Nabi. Lihat amalan para sahabat berkenaan berkah ini. Merekalah sebaik-baik manusia untuk dicontohi, kerana menerima tarbiyah khusus daripada Rasulullah.
Tanya :
Apakah ada ulama yang membolehkan mengambil berkah daripada para ulama dan orang-orang salih serta bekas-bekas sentuhan mereka berdasarkan perbuatan daripada sebagian Sahabat r.a. terhadap Nabi s.a.w? Apakah hukumnya? Apakah mungkin mengambil berkah dari Nabi s.a.w. setelah baginda wafat? Apakah hukum bertawassul (mengambil perantaraan dalam ibadah) kepada Allah dengan berkah Nabi s.a.w.?
Jawaban:
Alhamdulillah. Tidak boleh mengambil berkah selain daripada Rasulullah. Dahulu sahabat mengambil berkah Nabi dengan wudhu, rambut, keringat atau bagian manapun daripada tubuhnya. Semua itu hanya khusus bagi Nabi, karena Allah menjadikan tubuh baginda dan setiap yang menyentuhnya itu penuh kebaikan dan berkah. Oleh sebab itu, para Sahabat r.a. tidak pernah mengambil berkah daripada salah seorang di antara mereka semasa hidup atau sudah matinya. Juga tidak ada yang mengambil berkah daripada para Al-Khulafa Ar-Rasyidun. Itu menunjukkan bahwa mereka mengetahui bahwa hal tersebut khusus hanya kepada Nabi saja, tidak kepada yang lain.
Demikian juga tidak dibolehkan bertawassul dengan selain Allah seperti dengan kemuliaan Nabi, jasad, sifat atau keberkahan beliau, karena tidak ada dalil. Jika dilakukan maka itu merupakan jalan menuju kemusyrikan dan sikap kultus (pemujaan peribadi) terhadap beliau. Selain itu, perbuatan demikian juga tidak pernah dilakukan oleh para Sahabat. Kalau itu merupakan perbuatan baik, tentu mereka (para sahabat Nabi) telah mendahului kita melakukanya. Demikian juga karena itu bertentangan dengan dalil-dalil syariat, seperti firman Allah: "Dan Allah itu memiliki nama-nama yang baik, berdoalah dengan bertawassul dengannya.." (Al-A'raaf : 180)
Allah tidak menyuruh muslim berdoa kepada-Nya dengan kemuliaan, hak atau keberkahan seseorang yang menyamai bertawassul dengan asma Allah, sifat-sifat-Nya, seperti kemuliaan-Nya, rahmat-Nya, kalam-Nya dan lain-lain.
Antaranya yang diriwayatkan dalam hadits-hadits shahih berupa meminta perlindungan dengan kata-kata Allah yang sempurna (doa masuk ke satu tempat), dan meminta perlindungan dengan kemuliaan dan kekuasaan-Nya (doa mengobati sakit). Antara tawassul yang dibolehkan adalah bertawassul dengan kecintaan kepada Allah dan kecintaa kepada Nabi s.a.w., juga dengan iman kepada baginda.
Bertawassul dengan amal shalih diriwayatkan dalam kisah beberapa orang yang terjebak dalam gua. Ketika mereka berteduh di dalam gua dan hendak bermalam di situ, tiba-tiba jatuh batu besar dari atas gunung dan menutupi pintu gua. Mereka tidak mampu menolaknya. Merekapun merundingkan cara untuk bisa selamat dari gua itu. Mereka bersepakat bahwa mereka hanya bisa selamat dengan berdoa, dengan perantaraan amal shalih mereka sebelum itu. Orang pertama bertawassul dengan amalannya bahwa ia pernah melakukan perbuatan baik sekali kepada kedua orang tuanya. Mulailah batu karang itu bergeser sedikit, namun belum memungkinkan mereka untuk keluar. Orang kedua bertawassul dengan amalannya bahwa ia memelihara diri dari zina, padahal ia mampu melakukannya. Maka bergeserlah batu itu sedikit lagi, namun belum memungkinkan mereka untuk keluar. Kemudian orang ketiga bertawassul dengan amalan bahwa ia pernah menjaga amanah sedemikian rupa, maka terbukalah pintu gua itu bagi mereka. Hadits tersebut tercantum dalam Sahih Al-Bukhari dan Muslim, dari Nabi s.a.w., dari kisah orang-orang terdahulu, karena mengandung pelajaran dan peringatan buat kita.
Para ulama telah menjelaskan jawaban yang kami berikan di sini, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan murid beliau Ibnul Qayyim, Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Fathul Majied Syarah dari Kitabut Tauhid dan yang lainnya.
Adapun hadis tawassul orang buta kepada Nabi pada masa hidupnya, lalu Nabi s.a.w. memberikan syafa'at kepadanya dan mendoakannya sehingga Allah mengembalikan penglihatannya, maka itu termasuk tawassul dengan doa dan syafa'at baginda, bukan kemuliaan dan hak baginda Nabi. Itu jelas sekali dalam hadis tersebut sebagaimana pada Hari Kiamat nanti manusia akan meminta syafa'at kepada beliau dalam memutuskan perkara mereka. Dan sebagaimana para penghuni Surga nanti juga akan meminta syafa'at kepada beliau untuk masuk Surga mereka. Itu termasuk bertawassul dengan baginda ketika beliau hidup di kehidupan Akhirat nanti. Itu termasuk tawassul dengan doa dan syafa'at baginda, bukan dengan jasad dan hak atau kemuliaan baginda. Hal itu telah dijelaskan oleh para ulama, antaranya yang telah kami sebutkan tadi. Kitab Majmu' Al-Fatawa wal Maqalat Al-Mutanawwi'ah oleh Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz –Rahimahullah-- VII : 65)
Sumber: www.alsofwah.or.id/ind...twa&id=120