Sesungguhnya Nabi Muhammad s.a.w. sebagai penutup para nabi. Tidak ada nabi setelah baginda hingga hari kiamat. Maksud firman Allah: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak daripada seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…” [Al-Ahzab: 40] Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud: “Dan aku merupakan penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku.” [HR Tirmidzi]
Syari’at baginda s.a.w. juga merupakan penutup syari’at. Tidak ada syari’at yang menyamainya, dan tidak ada syari’at baru setelahnya hingga hari kiamat. Maksud firman Allah: “Sesungguhnya agama (yang diredhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” [Ali-Imran: 19] dan “Sesiapa mencari agama selain daripada agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali-Imran: 85]
Artinya menyerahkan diri kepada Allah dengan mentauhidkan dan tunduk kepada-Nya dengan mentaati perintah-Nya, kemudian berlepas diri daripada kesyirikan serta pelakunya. Islam dengan makna seperti inilah yang dibawa oleh semua rasul. Jadi, Islam ialah mentauhidkan Allah, mentaati para rasul-Nya, dan mengamalkan syari’at yang diberikan pada zamannya. Akidah para nabi itu satu (sama), iaitu mentauhidkan Allah, sedangkan syariatnya berbeda-beda, karena Allah memberikan syariat yang sesuai dengan masanya.
Maksud firman Allah lagi: “Untuk tiap-tiap umat di antara kami, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” [Al-Ma’idah: 48] dan “Bagi taip-tiap masa ada kitab (yang tertentu). Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya terdapat Ummul kitab (Lauh Mahfudz)” [Ar-Ra’d: 38-39]
Apabila suatu syari’at sudah dihapus, maka wajib mengamalkan syari’at baru yang menghapusnya. Tidak boleh mengamalkan syariat yang telah dihapus. Karena mengamalkan yang telah dihapus bukan ibadah, tetapi hanya mengikuti hawa nafsu dan setan. Dan syari’at Muhammad s.a.w. merupakan penghapus bagi semua syari’at terdahulu. Oleh karena itu, wajib mengamalkannya dan meninggalkan syari’at lainnya, karena semua sudah terhapus. Syari’at Nabi Muhammad ini mencakup semua yang bisa memberi kebaikan kepada manusia, di setiap tempat dan segala keadaan. Hal ini dihujah oleh Allah dengan maksud ayat: “Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku redhai Islam itu menjadi agamamu” [Al-Maidah: 3]
Yang dimaksud dengan kalimat “Islam” dalam ayat ini, ialah dien (agama) Nabi Muhammad s.a.w. Hal ini karena penobatan beliau sebagai Rasulullah atau utusan khas Allah. Istilah Islam digunakan pada syari’at yang dibawa Muhammad s.a.w., dan baginda ini sebagai utusan Allah kepada semua manusia. Maksud firman Allah: “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya” [Saba’: 28] dan “Katakanlah, hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua…” [Al-A’raf: 158]
Oleh karena itu, seseorang yang tetap bertahan dengan agama-agama terdahulu, seperti Yahudi dan Nasrani atau lainnya, berarti dia menjadi orang yang ingkar kepada Allah, karena tidak berada di atas agama yang diperintahkan oleh Allah, iaitu agama Nabi Muhammad s.a.w. Allah berfirman yang maksudnya: “Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu.” [Al-Maidah: 67]
Setelah itu, Rasulullah s.a.w. mengirim surat kepada para raja di muka bumi untuk mengajaknya masuk Islam, mengikuti baginda atau membebankan atas mereka tanggung jawab ittiba’ jika mereka tetap kufur. Rasulullah juga mengirim para utusan ke pelbagai penjuru dunia. Rasulullah mengirim Mu’adz bin Jabal ke Yaman, seraya bersabda: “Engkau akan mendatangi sebagian kaum Ahli Kitab, maka hendaklah yang pertama kali engkau dakwahkan, ialah syahadah Lailaha Illallah dan Muhammadur Rasulullah.” [Al-Hadits]
Allah berfirman kepada nabi s.a.w.: “Hai nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” [At-Taubah: 73]
Maka Rasulullah s.a.w. pun bergegas melaksanakan perintah Allah dengan memimpin tentara dan membentuk pasukan untuk berjihad di jalan Allah. Kemudian para sahabat setelah baginda s.a.w. melanjutkan jihad ini sehingga berhasil menaklukkan dunia bagian timur dan barat. Dan agama Allah memperoleh kemenangan, meskipun orang-orang musyrik membenci Islam.
Berdasarkan huraian di atas, maka perkataan “bebas memilih agama” merupakan perkataan batil atau salah. Perkataan ini akan mengakibatkan terhapusnya syariat jihad fi sabilillah, walhal Allah berfirman yang maksudnya: “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi, dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah.” [Al-Baqarah: 193]
Jika manusia Allah bebaskan memilih agama, berarti tidak perlu dikirimkan rasul dan diturunkan kitab untuk memerintahkan (manusia) beribadah kepada Allah semata-mata. Jika begitu juga berarti, tidak boleh membunuh orang murtad yang diperintahkan Rasulullah agar dibunuh, (sebagaimana) dalam sabda beliau: “Orang yang menggantikan agamanya, maka bunuhlah dia.” [HR Al-Bukhari]
Yang melontarkan “bebas memilih agama” ini hanyalah golongan penganut ‘wihdatul-wujud’. Perkataan mereka dirakam dalam al-quran bermaksud: “Dan mereka berkata: Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, ya’uq dan Nasr.” [Nuh: 23] dan “Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu ilah (Tuhan) yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat menghairankan.” [Shad: 5]
Benar ada maksud firman Allah: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” [Al-Baqarah : 256] Ayat ini dijadikan pegangan oleh para pengusung pendapat ini tanpa alasan yang haq, sebenarnya ayat tersebut tidak seperti yang mereka inginkan. Mufassir Al-Imam Ibnu Katsir rhm berkata: Allah berfirman: “Maksudnya surat Al-Baqarah ayat 256 iaitu, kalian jangan memaksa seseorang untuk memasuki Islam.”
Maksudnya sangatlah jelas, tidak perlu memaksa seseorang masuk Islam. Akan tetapi, orang yang diberi petunjuk Allah dan dilapangkan dadanya untuk menerimanya, maka ia akan masuk Islam. Sedangkan orang yang dibutakan mata hatinya, pendengaran dan penglihatannya ditutup oleh Allah maka tidak ada gunanya memaksanya masuk Islam. Para ulama menyebutkan ayat ini turun pada sekelompok orang Ansar, meskipun hukum ayat ini bersifat umum.
Imam Ibnu Katsir juga berkata: Sebagian ulama berpendapat, pengertian ayat ini dibawakan kepada para ahli kitab dan orang yang mengikuti agama mereka sebelum terjadi perubahan dan pergantian kepada seruan masuk Islam. Jika mereka sudah membayar jizyah (artinya, orang kafir yang telah membayar jizyah ini, jangan dipaksa masuk Islam-editor). Sementara itu, sebagian ulama lainnya mengatakan, bahwa ayat ini telah dimansukh (dihapus hukumnya dan diganti-editor) dengan ayat yang memerintahkan untuk berperang, dan wajib mendakwahi semua umat manusia agar masuk ke dalam agama Islam yang lurus ini. Jika ada di antara manusia yang tidak mahu masuk Islam, tidak mahu tunduk kepada-Nya, dan juga tidak mau membayar jizyah, maka ia diperangi sampai terbunuh. Selesai perkataan Ibnu Katsir rhm itu.
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’diy mengatakan, dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 256 ini, sebagai penjelasan mengenai kesempurnaan agama ini. Karena kesempurnaan bukti-buktinya, kejelasan ayat-ayatnya, juga karena keberadaan Islam itu sebagai agama (yang sesuai dengan) akal, ilmu, fitrah, hikmah, agama kebaikan dan yang mengadakan perbaikan, agama yang haq dan agama petunjuk. Karena kesempurnaannya ini, juga karena diterima oleh fithrah, maka tidak perlu memaksa manusia masuk Islam. Karena pemaksaan itu ada hanya pada sesuatu yang tidak disenangi hati, bertentangan dengan hakikat dan kebenaran, atau pada sesuatu yang tidak jelas bukti dan tanda-tandanya.
Jika tidak demikian, maka orang yang telah sampai padanya dien ini lalu dia menolaknya, tentu hal itu disebabkan oleh sifat bangkangannya. Sudah jelas perbedaan antara petunjuk dan kesesatan sehingga tidak ada alasan menolak Islam.
Makna ini, tidak bertentangan dengan banyak ayat yang menyerukan kewajiban jihad. Karena Allah mewajibkan jihad, supaya semua dien (agama) itu hanya untuk Allah, juga untuk menghalau kezaliman para pelakunya. Dan kaum muslimin sepakat, bahwa jihad itu tetap ada bersama dengan pemimpin yang baik dan zalim. Hal itu termasuk yang difardhukan secara terus menerus, jihad melalui ucapan ataupun perbuatan.
Jadi jelas, maksud firman Allah surat Al-Baqarah ayat 256, bukan membiarkan manusia tetap berada di atas agama kekufuran, kesyirikan ataupun penyimpangan, karena Allah menciptakan makhluk agar mereka beribadah kepada-Nya semata-mata, tidak ada sekutu bagi-Nya, sebagaimana firman Allah: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” [Adz-Dzariyat: 56]
Sesiapa yang tidak mahu beribadah (mengabdi) kepada Allah, maka orang itu diperangi, sehingga semua agama (ketaatan-editor) itu hanya untuk Allah.[1]
Demikianlah, kita memohon kepada Allah agar Dia menujukkan kepada kita kebenaran itu sebagai kebenaran, dan memberikan kepada kita kekuatan untuk mengikutinya, serta menujukkan kepada kita kebatilan itu sebagai sebuah kebatilan dan memberikan kekuatan untuk menjauhinya.
[Disalin daripada Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
Footnotes
[1]. Dan hal ini tentu dengan memperhatikan syarat-syarat dan adab-adabnya sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Seperti harus adanya kemampuan dan telah sampainya dakwah kepada mereka. Wallahu a’lam. (-red)