Menceritakan ‘aib orang lain tanpa ada hajat sama
sekali, inilah yang disebut dengan ghibah. Karena ghibah artinya
membicarakan ‘aib orang lain sedangkan ia tidak ada di saat pembicaraan. ‘Aib
yang dibicarakan tersebut, ia tidak suka diketahui oleh orang lain.
Adapun dosa ghibah dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا
كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا
يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ
مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan
prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari
keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di
antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)
Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab
tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain)
dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak tahu siapa
yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak
mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az
Zujaj.”
Asy Syaukani rahimahullah kembali
menjelaskan, “Dalam ayat di atas terkandung isyarat bahwa kehormatan manusia
itu sebagaimana dagingnya. Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan,
begitu pula dengan kehormatannya dilarang untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan
agar seseorang menjauhi perbuatan ghibah. Ayat ini menjelaskan bahwa ghibah
adalah perbuatan yang teramat jelek. Begitu tercelanya pula orang yang
melakukan ghibah.”
Adapun yang dimaksud ghibah disebutkan dalam hadits
berikut,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ
أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا
تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para
sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu
mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah,
bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai
dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu
telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu
tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).”
(HR. Muslim no. 2589, Bab Diharamkannya Ghibah)
Ghibah dan menfitnah (menuduh tanpa bukti)
sama-sama keharaman. Namun untuk ghibah dibolehkan jika ada tujuan yang syar’i
yaitu dibolehkan dalam enam keadaan sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah. Enam
keadaan yang dibolehkan menyebutkan ‘aib orang lain adalah sebagai berikut:
1- Mengadu tindak kezaliman kepada penguasa atau
pada pihak yang berwenang. Semisal mengatakan, “Si Ahmad telah menzalimiku.”
2- Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu
perbuatan mungkar dan untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut
kembali pada jalan yang benar. Semisal meminta pada orang yang mampu
menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Rahmat telah melakukan tindakan
kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”
3- Meminta fatwa pada seorang mufti seperti seorang
bertanya mufti, “Saudara kandungku telah menzalimiku demikian dan demikian.
Bagaimana caranya aku lepas dari kezaliman yang ia lakukan.”
4- Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu
kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perowi hadits.
5- Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat
maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau bid’ah yang ia lakukan, bukan pada
masalah lainnya.
6- Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah
ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si buta. Namun jika ada ucapan yang bagus,
itu lebih baik. (Syarh Shahih Muslim, 16: 124-125)
Kalau kita perhatikan apa yang dimaksud oleh Imam
Nawawi di atas, ghibah masih dibolehkan jika ada maslahat dan ada kebutuhan.
Misal saja, ada seseorang yang menawarkan diri menjadi pemimpin dan ia membawa
misi berbahaya yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin, apalagi ia
mendapat backingan dari non muslim dan Rafidhah (baca: Syi’ah), maka sudah
barang tentu kaum muslimin diingatkan akan bahayanya. Namun yang diingatkan
adalah yang benar ada pada dirinya dan bukanlah menfitnah yaitu menuduh tanpa
bukti. Wallahu waliyyut taufiq.
—
Disusun di Jayapura, Papua, 26 Rajab 1435 H
Penulis: Muhammad
Abduh Tuasikal