Pengikut

Jumaat, Disember 26, 2014

JAKARTA-Bandung 12 jam, jalan macet total


MELIHAT sebagian wajah Indonesia!  Itulah yang dapat disimpuikan sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Bandung melewati Gadog-Bogor-Cianjur.  Ada pilihan lain untuk ke Bandung dengan lebuh raya yang nyaman dan tidak memakan waktu. Namun hanya ada satu jalan untuk ke Puncak, itulah jalan lama yang di kiri kanannya memaparkan sebagian wajah Indonesia, negara paling banyak penduduk muslim di dunia.






Sebelum berada di jalan lama, kita melewati lebuh raya. Dari situ boleh terlihat pemandangan sebagian kediaman penduduk kelas bawah Jakarta.  Mereka tinggal di kawasan setinggan atau perkumuhan.  Asal ada tanah yang tidak digenangi air, di situlah penduduk membuat petempatan. Oleh kerna lebuh rayanya lebih tinggi berbanding dengan perumahan tersebut, dapatlah dilihat keragaman bentuk rumah rakyat marhaen.  Yang sangat jelas di situ banyak masjid dan surau yang tampat dibina lebih indah berbanding rumah-rumah penduduk.

Rumah penduduk dan premis perniagaan ada di sepanjang perjalanan ke Puncak.  Paling banyak ialah rumah makan masakan Padang atau Minangkabau.  Hotel atau rumah penginapan untuk yang bertualangan di sini juga mudah ditemukan di mana-mana.

Menurut pemandu bas yang membawa kami, jalan macet atau jammed pada hujung minggu. Sakalipun kami melaluinya pada hari Isnin (22 Disember 2014), tanpa diduga sepanjang perjalanan macet.  Bayangkan, perjalanan dari Jakarta ke Bandung (kira-kira 180km) dengan rencana untuk istirahat sebentar di Puncak yang dijangka selama lima jam menjadi 12 jam!  Kami bergerak dari Masjid Istiqlal jam 11 pagi hanya sampai di Puncak jam 8.00 malam. Tambahan pula dari Gadog, hujan sepanjang jalan maka kami tidak dapat menikmati pemandangan indah di Puncak sebagaimana yang dirancang. Hanya makan dan solat.

Sehingga ke Gadog, semua rakan dalam rombongan masih bisa positif melihat pemandangan kehidupan warga Indonesia sebagai informasi. Pengalaman dan informasi secara langsung. Namun apabila hari sudah gelap, dan pergerakan bas masih seperti kura-kura, sebagian rakan sudah mula mengeluh kerna begitu lama dalam perjalanan.



Namun sepanjang itulah dapat dibuktikan bahawa Indonesia memang mempunyai penduduk sebanyak kira-kira 250 juta jiwa. Jalan raya padat dan motorsikal begitu banyak sekali. Ini sudah dilihat di Jakarta seawal pagi ketika mereka keluar mencari rezeki harian.  Kenderaan yang banyak dengan hampir semua buatan dari Jepun dan banyaknya yang model terbaru menggambarkan kuasa beli rakyat di Indonesia juga tidaklah jauh bedanya dengan rakyat di Malaysia. Toyota Vios terbaru dan Nissan Almera dijadikan teksi sedangkan di Malaysia menjadi sebagian kenderaan golongan menengah kerna harganya lebih tinggi berbanding kebanyakan kereta nasional Proton Saga dan Perodua Myvi.  Proton Exora juga ditemui di Indonesia.

Tidak ada masalah untuk makan di Indonesia. Sebelum ini ada yang memberi gambaran sukar mendapatkan makanan halal kerna sebagian warga pribuminya yang bukan muslim mengusahakan makanan. Hakikatnya rumah makan ala-Padang Sumatera Barat ada di mana-mana. Indonesia adalah negara penduduk muslim terbanyak di dunia. Di mana-mana ditemui papan tanda masjid dan pesantren atau pusat pendidikan  Islam.  Seperti di Malaysia yang mudah mencari musalla atau tempat solat, begitu juga di sini.

Di Bogor juga ditemui perkampungan Arab.  Di pinggir jalan itu tokok-toko perniagaan ditulis dalam Bahasa Arab.  Jadi saya teringat catatan dalam buku Ayah (Buya Hamka) oleh Irfan Hamka. Penulis buku itu menemui pemuda Arab yang bertugas di Kedutaan Indonesia di Baghdad tahun 1965 adalah pria Arab kelahiran Bogor. Ya di perkampungan Arab Bogor itulah.


Jalan ke Puncak-Cianjur senantiasa menanjak semenjak dari Gadog.  Sesampai di Puncak saat masih hujan, memang dingin sekali. Takdir Tuhan, kami tidak dapat menikmati keindahan alam di Puncak, salah satu tumpuan para wisata dalam dan luar negara di sini.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan