Pengikut

Isnin, Julai 18, 2016

Lutherisme, Kaum Muda dan Salafiyah

SEORANG ulama muda, pensyarah UPSI dilarang memberi apa juga ceramah agama di Selangor.  Ini berita benar.  Caranya mudah, pihak berkuasa agama tidak memberinya tauliah atau lesen kebenaran mengajarkan agama. Jika pensyarah muda itu melanggar peraturan ini tentu dia bisa dihadapkan ke mahkamah syariah. Ini telah berlaku kepada Dr Asri Zainul Abidin dahulu.


Bukan disebabkan namanya Dr Muhamad Rozaimi Ramle atau Dr Asri Zainul Abidin, tetapi pendekatan pemahaman atau manhaj memahami agama yang berlawanan dengan yang dipahami oleh para ahli agama di jabatan berkuasa agama negeri.  Sementara ada kuasa mengehadkan pemikiran tokoh-tokoh muda, maka dikekang agar tidak merebak kepada penduduk Selangor, khasnya golongan intelektual muda di kota-kota.

Dahulu awal abad ke-20 telah pun berlaku seperti apa yang berlaku hari ini. Waktu tokoh aliran pemikiran Kaum Muda yang membawa pemahaman pembaharuan berdasarkan al-Quran dan hadis disekat menyebarkan idea-ideanya di negeri-negeri yang mempunyai raja. Justeru, tokoh seperti Syed Syeikh al-Hadi, Syeikh Tahir Jalaluddin, Abas Taha dan mereka yang lain hanya bebas beroperasi di negeri-negeri tidak beraja seperti Melaka, Pulau Pinang dan Singapura.  Namun pergerakan Kaum Muda (itulah yang disebut wahabi) dirakam sebagai pejuang kebangsaan, pembina daya intelektual Melayu atau obor pemcerah pada jaman kebekuan orang beragama.

Menyekat pemikiran pembaharuan dalam agama, mengingat contoh tindakan pihak gereja pada jaman kegelapan Eropah dahulu. Pihak gereja menyekat idea atau tokoh seperti Martin Luther daripada berbicara hal agama Kristian. Gereja percaya tindakannya pasti menang, dan pemikiran Martin Luther akan terhapus. Gereja terlupa bahawa saat itu telah dicipta mesin cetak yang bisa diperluas atau diperbanyak kitab Bible dan ajaran reformasi Martin Luther. Nah, akhirnya Lutherisme berkembang sehingga Kristian terbagi dua.

Kembali terhadap sekatan idea tajdid yang dibawa oleh golongan sunah seperti Dr Rozaimi, Dr Asri, Dr Fathul Bari dan banyak lagi tokoh, idea-idea mereka tidak menunjukkan kian kecil sebaliknya terus membiak di mana-mana khasnya golongan muda di institusi pengajian tinggi.  Mereka sedang mengembalikan kemurnian beragama sebagaimana masyarakat jaman Salaf memahami agama. 

Tidak ada siapa yang bisa mengempang kebenaran beragama.  Allah pasti memberi pertolongan kepada pejuang-pejuang yang ikhlas membawa manusia ke jalan benar sebagaimana jalan Rasulullah dahulu. Namun ya, tribulasi itu pasti dirasai sebagaimana Nabi dan para sahabatnya merasainya dahulu.

Ahad, Julai 17, 2016

PINTAR politik, kosong ilmu agamanya

KATA orang politik itu ilmu dan seni. Namun katanya untuk bicara politik tidak memerlukan orang keluar dari sekolah tinggi apatah lagi dengan gulungan diploma dan ijazah. Maka itulah orang-orang desa dan pinggiran kota duduk berjam-jam di warung kopi sambil ngobrol politik.  Saya sendiri pernah diejek oleh orang yang jauh lebih muda daripada saya kerja tidak sama pendapatnya dalam politik.  Dan banyak juga yang berkata, "mari saya sekolahkan kamu pasal politik".

Gagah banget bicara politik.  Namun apabila disuguh hal agama... banyak yang mulutnya bungkam atau lari tidak mahu bicara hal agama. Agama itu hal yang menjuruskan pada pemahaman hal akhirat. Berita-berita akhirat hanya ada dalam al-Quran dan hadis-hadis sahih Nabi s.a.w.  Jangan pandang enteng ya, pantas jika bicara keduniaan atau tadi hal politik, namun sepi dan kaku atau tidak mengerti hal-hal akhirat.

Maksud sabda Rasulullah s.a.w. "Sesungguhnya Allah membenci setiap orang yang kasar lagi sombong, bakhil lagi rakus, sibuk dengan pasar-pasar. Pada malamnya seperti bangkai (banyak tidur) dan siangnya seperti keldai.  Dia berilmu dalam urusan dunia namun jahil dalam urusan akhirat." (Sahih Ibn Hibban, nombor 72.  Sunan al-Kubra al-Baihaqi, nombor 20804)

Berpada-padalah dengan keduniaan yang sementara, pada saat hati mengakui akhirat itulah yang abadi.

Isnin, Julai 04, 2016

SHALAT Eid di lapangan atau di masjid?

Hukum Shalat Id di Masjid atau di Lapangan

A. Khoirul, NU Online | Selasa, 23 September 2008 05:40
Hukum shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan tetapi tidak wajib). Meskipun ibadah sunnah muakkadah, Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya setiap tahun dua kali.

Imam As-Syaukani berkata: "Ketahuilah bahwasanya Nabi SAW terus-menerus mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkannya satu pun dari beberapa Id. Nabi memerintahkan umatnya untuk keluar padanya, hingga menyuruh wanita, gadis-gadis pingitan dan wanita yang haid.”<>

“Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta panggilan kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak mempunyai jilbab agar saudaranya meminjamkan jilbabnya.”

Shalat Id tidak disyaratkan harus dilaksanakan di Masjid. Bahkan menurut pendapat Imam Malik shalat Id juga baik dilaksanakan di lapangan terbuka. Karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan shalat Id di lapangan kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya.

Adapun perbedaan di antara tanah lapang dengan masjid bahwa tanah lapang berada di tempat terbuka, sedangkan masjid berada di dalam sebuah tempat (bangunan) yang tertutup. 

عَنْ أَبِي سَعِيْدِ الْخُدْرِي رضي الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَ اْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى. فَأَوَّلُ شَيْئٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَة، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَ النَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ، فَيَعِظُهُمْ وَ يُوْصِيْهِمْ وَ يَأْمُرُهُمْ. فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ يَأْمُرُ بِشَيْئٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ

Dari Abi Sa'id Al-Khudri RA, ia berkata: "Rasulullah SAW biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang/lapangan) pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling ...." (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; )

Mengerjakan shalat Id di mushalla (tanah lapang) adalah sunnah, kerana dahulu Nabi SAW keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya, yaitu Masjid Nabawi yang lebih utama dari masjid lainnya. Waktu itu masjid Nabi belum mengalami perluasan seperti sekarang ini.

Namun demikian, menunaikan shalat Id di masjid lebih utama. Imam As-Syafi'i bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk mengerjakan shalat Id) karena shalat Id di masjid lebih utama. Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak dianjurkan melakukan shalat Id di dalam masjid. 

أَنَّهُ إِذَا كاَنَ مَسْجِدُ البَلَدِ وَاسِعاً صَلُّوْا فِيْهِ وَلاَ يَخْرُجُوْنَ.... فَإِذَا حَصَلَ ذَالِكَ فَالمَسْجِدُ أَفْضَلُ

”Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya shalat di Masjid dan tidak perlu keluar.... karena shalat di masjid lebih utama”

Dari fatwa Imam As-Syafi'i ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani telah membuat kesimpulan seperti berikut: "Dari sini dapat disimpulkan, bahwa permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, kerana diharapkan pada Hari Raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh kerana itu, jika faktor hukumnya (’illatul hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka shalat Id dapat dilakukan di dalam masjid, maka melakukan shalat Id di dalam masjid lebih utama daripada di tanah lapang". (Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 5, h. 283)

Sebenarnya, melaksanakan shalat Id hukumnyasunnah, baik di masjid maupun di lapangan. Akan tetapi melaksanakannya di lapangan maupun di masjid tidak menentukan yang lebih afdhal. Shalat di lapangan akan lebih afdhal jika masjid tidak mampu menampung jema’ah. Akan tetapi menyelenggarakan shalat Id lebih utama di masjid jika masjid (termasuk serambi dan halamannya) mampu menampung jema’ah.

Sekali lagi, fokus utama dalam hukum shalat Id ini adalah dapat berkumpulnya masyarakat untuk menyatakan kemenangan, kebahagiaan dan kebersamaan.

Di antara hikmah berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat adalah untuk menampakkan kemenangan kaum muslimin; untuk menguatkan keimanan dan memantapkan keyakinan; untuk menyatakan fenomena kegembiraan pada Hari Raya; untuk menyatakan salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT.


HM Cholil Nafis MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU