Pengikut

Sabtu, Februari 27, 2010

MENCARI sunah dalam maulidur rasul

Tanggal 26 Februari 2010 Jumaat yang bersamaan dengan 12 Rabiul Awal 1431 Hijriyah, masyarakat kontemporari bercuti kerana Maulidurrasul. Beberapa kelompok lain merayakannya dalam bentuk ritual menyamai ibadah khusus seperti berselawat, membaca alquran dan berdoa. Kesempatan sambutan ini sekarang dimasukkan pula seperti perlawanan sukan, aktiviti sosial dan lain-lain. Yang akan berterusan untuk beberapa hari atau minggu ialah ceramah maulidurrasul di masjid dan surau-surau. Semuanya atas hujah memperingati junjungan besar Nabi Muhammad. Waktu inilah mulut penceramah mudah dan murah menyeru manusia mengamalkan sunah nabi!
Antara ayat al-Quran yang kerap digunakan untuk mengingat terhadap peribadi dan sejarah Rasulullah Muhammad bin Abdulllah ialah dua ayat berkenaan (maksudnya):
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (iaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah." (QS. 33:21)
"Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir (yang ingkar)." (QS. 3:31-32)
Sungguh mulia untuk mengakui Muhammad sebagai nabi utusan Allah dan mengamalkan pula ajarannya. Tambah hebat jika berpegang teguh dengan ajaran Rasulullah ini, dan jika ada kecaman atau ugutan, tidak berpaling lagi! Namun tidak mudah menemui wacana atau hujahan penjelasan mengenai sunah dan hal yang menyalahi sunah. Mustahil tidak ada perkara yang menyalahi sunah dalam masyarakat yang mengamalkan agama hanya kerana taqlid atau ikut-ikutan.
Menyeru muslim mengikuti sunah sangat mudah dengan menghujah supaya menutup aurat, bersolat berjemaah di masjid dan berpuasa sunat hari Isnin dan Khamis. Hal ini pun tidak berani dikupas dengan jujur mengenai contoh nabi bersolat sekalipun ada satu hadis nabi yang masyhur antaranya yang bermaksud: Solatlah kamu sebagaimana melihat aku bersolat! Apabila ada pihak yang mahu menuruti cara nabi bersolat dan berzikir dengan betul, maka dikecam pula sebagai menyalahi amalan biasa umat Islam.
Perhatikan, pihak yang mahu melaksanakan sunah ini dikecam kerana berlawanan amalan biasa umat Islam. Hal ini bermakna sudah berlaku pertentangan antara sunah nabi dengan amalan biasa umat Islam. Contoh kecil: Mengikut sunah nabi, cara berzikir dan berdoa selepas solat ialah secara senyap dan dilakukan sendiri-sendiri walhal amalan biasa umat Islam ialah dilakukan secara kuat dan beramai-ramai. Sebenarnya, sempena maulidurrasul yang para penceramah maulid ini menyeru cintai nabi, mereka mahu muslim mengikuti sunah nabi atau amalan biasa masyarakat Islam? Ada lagi contoh seperti ini akan ditemui jika dikaji dengan jujur.
Jika dalam bab makanan, begitu hebat ahli agama kita mengkaji dan menyatakan pendirian jelas serta contoh-contoh makanan yang halal dan haram, mengapa tidak ada kesungguhan antara amalan sunah dan yang menyalahi sunah? Lawan kepada sunah ialah bid’ah. Istilah bid’ah ini sebenarnya sedaya upaya tidak dibincangkan secara telus dan jujur dalam kalangan ahli agama atau dalam majlis pengajian agama. Untuk mengelak daripada terperangkap dengan konsep bid’ah (antisunah) ini masyarakat muslim diajak menerima konsep nilai-nilai baik dalam semua amalan agama yang diakui tidak ada contoh daripada sunah nabi. Oleh kerana pada nilaian akal konsep nilai-nilai baik ini diterima, maka orang awam dengan mudah menjadikan apa juga amalan-amalan agama yang bukan bersumberkan daripada sunah nabi itu sebagai amalan biasa masyarakat Islam turun-temurun, dan dikatakan pula amalan sunah nabi! Akhirnya berlakulah beberapa hal pertentangan antara kehendak sunah dengan amalan biasa masyarakat Islam ini.
Memang berlaku banyak perselisihan apabila dibuka perbincangan. Hal ini bukan hanya dalam bab agama, malah dalam semua hal kehidupan. Namun dalam dunia akademik yang jujur mencari kebenaran, perbincangan memang sangat dialu-alukan. Malangnya dalam masyarakat muslim kita, perbincangan untuk mencari kebenaran sunah dan kebatilah antisunah sentiasa ditutup.
"Sesungguhnya sesiapa yang hidup daripada kamu selepasku, dia pasti akan melihat banyak perselisihan. Oleh itu, mestilah kamu berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin yang terpimpin. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan geraham-geraham kamu. Hindarilah perkara-perkara baru (dalam urusan ugama) kerana semua perkara baru (dalam agama) itu bid'ah dan semua bid'ah itu adalah sesat." (Riwayat Tirmizi juz 2 ms.92, Abu Daud juz 2 ms.279).

Sabtu, Februari 20, 2010

APAKAH Sultan Salahudin al-Ayubi pencetus maulidur rasul?

Oleh : Al-Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf
Ada sebuah kisah yang cukup masyhur di negeri nusantara ini tentang peristiwa pada saat menjelang Perang Salib. Ketika itu kekuatan kafir menyerang negeri Muslimin dengan segala kekuatan dan peralatan perangnya. Demi melihat kekuatan musuh tersebut, sang raja muslim waktu itu, Sholahuddin al-Ayyubi, ingin mengobarkan semangat jihad kaum muslimin. Maka beliau membuat peringatan maulid nabi. Dan itu adalah peringatan maulid nabi yang pertama kali dimuka bumi.
Begitulah cerita yang berkembang sehingga yang dikenal oleh kaum Muslimin bangsa ini, penggagas perayaan untuk memperingati kelahiran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ini adalah Imam Sholahuddin al Ayyubi. Akan tetapi benarkah cerita ini? Kalau tidak, lalu siapa sebenarnya pencetus peringatan malam maulid nabi? Dan bagaimana alur cerita sebenarnya?
Kedustaan Kisah Ini
Anggapan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah pencetus peringatan malam maulid nabi adalah sebuah kedustaan yang sangat nyata. Tidak ada satu pun kitab sejarah terpercaya –yang secara gamblang dan rinci menceritakan kehidupan Imam Sholahuddin al Ayyubi- menyebutkan bahwa beliau lah yang pertama kali memperingati malam maulid nabi.
(foto hiasan sahaja)
Akan tetapi, para ulama ahli sejarah justru menyebutkan kebalikannya, bahwa yang pertama kali memperingati malam maulid nabi adalah para raja dari Daulah Ubaidiyyah, sebuah Negara (yang menganut keyakinan) Bathiniyyah Qoromithoh meskipun mereka menamakan dirinya sebagai Daulah Fathimiyyah.
Merekalah yang dikatakan oleh Imam al Ghozali: “Mereka adalah sebuah kaum yang tampaknya sebagai orang Syiah Rafidhah padahal sebenarnya mereka adalah orang-orang kafir murni.” Hal ini dikatakan oleh al Miqrizi dalam al-Khuthoth: 1/280, al Qolqosyandi dalam Shubhul A’sya: 3/398, as Sandubi dalam Tarikh Ihtifal Bil Maulid hal.69, Muhammad Bukhoit al Muthi’I dalam Ahsanul Kalam hal.44, Ali Fikri dalam Muhadhorot beliau hal.84, Ali Mahfizh dalam al ‘Ibda’ hal.126.
Imam Ahmad bin Ali al Miqrizi berkata: “Para kholifah Fathimiyyah mempunyai banyak perayaan setiap tahunnya. Yaitu perayaan tahun baru, perayaan hari asyuro, perayaan maulid nabi, maulid Ali bin Abi Tholib, maulid Hasan, maulid Husein, maupun maulid Fathimah az Zahro’, dan maulid kholifah. (Juga ada) perayaan awal Rojab, awal Sya’ban, nisfhu Sya’ban, awal Romadhon, pertengahan Romadhon, dan penutup Ramadhon…” [al Mawa’izh:1/490]
Kalau ada yang masih mempertanyakan: bukankah tidak hanya ulama yang menyebutkan bahwa yang pertama kali membuat acara peringatan maulid nabi ini adalah raja yang adil dan berilmu yaitu Raja Mudhoffar penguasa daerah Irbil?
Kami jawab: Ini adalah sebuah pendapat yang salah berdasarkan yang dinukil oleh para ulama tadi. Sisi kesalahan lainnya adalah bahwa Imam Abu Syamah dalam al Ba’its ‘Ala Inkaril Bida’ wal h\Hawadits hal.130 menyebutkan bahwa raja Mudhoffar melakukan itu karena mengikuti Umar bin Muhammad al Mula, orang yang pertama kali melakukannya. Hal ini juga disebutkan oleh Sibt Ibnu Jauzi dalam Mir’atuz Zaman: 8/310. Umar al Mula ini adalah salah seorang pembesar sufi, maka tidaklah mustahil kalau Syaikh Umar al Mula ini mengambilnya dari orang-orang Ubaidiyyah.
Adapun klaim bahwa Raja Mudhoffar sebagai raja yang adil, maka urusan ini kita serahkan kepada Allah akan kebenarannya. Namun, sebagian ahli sejarah yang sezaman dengannya menyebutkan hal yang berbeda.
Yaqut al Hamawi dalam Mu’jamul Buldan 1/138 berkata: “Sifat raja ini banyak kontradiktif, dia sering berbuat zalim, tidak memperhatikan rakyatnya, dan senang mengambil harta mereka dengan cara yang tidak benar.” [lihat al Maurid Fi ‘Amanil Maulid kar.al Fakihani – tahqiq Syaikh Ali- yang tercetak dalam Rosa’il Fi Hukmil Ihtifal Bi Maulid an Nabawi: 1/8]
Alhasil, pengingatan maulid nabi pertama kali dirayakan oleh para raja Ubaidiyyah di Mesir. Dan mereka mulai menguasai Mesir pada tahun 362H. Lalu yang pertama kali merayakannya di Irak adalah Umar Muhammad al Mula oleh Raja Mudhoffar pada abad ketujuh dengan penuh kemewahan.
Para sejarawan banyak menceritakan kejadian itu, diantaranya al Hafizh Ibnu Katsir dalam Bidayah wan Nihayah: 13/137 saat menyebutkan biografi Raja Mudhoffar berkata: “Dia merayakan maulid nabi pada bulan Robi’ul Awal dengan amat mewah. As Sibt berkata: “Sebagian orang yang hadir disana menceritakan bahwa dalam hidangan Raja Mudhoffar disiapkan lima ribu daging panggang, sepuluh ribu daging ayam, seratus ribu gelas susu, dan tiga puluh ribu piring makanan ringan…”
Imam Ibnu Katsir juga berkata: “Perayaan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dan para tokoh sufi. Sang raja pun menjamu mereka, bahkan bagi orang sufi ada acara khusus, yaitu bernyanyi dimulai waktu dzuhur hingga fajar, dan raja pun ikut berjoget bersama mereka.”
Ibnu Kholikan dalam Wafayat A’yan 4/117-118 menceritakan: “Bila tiba awal bulan Shofar, mereka menghiasi kubah-kubah dengan aneka hiasan yang indah dan mewah. Pada setiap kubah ada sekumpulan penyanyi, ahli menunggang kuda, dan pelawak. Pada hari-hari itu manusia libur kerja karena ingin bersenang-senang ditempat tersebut bersama para penyanyi. Dan bila maulid kurang dua hari, raja mengeluarkan unta, sapi, dan kambing yang tak terhitung jumlahnya, dengan diiringi suara terompet dan nyanyian sampai tiba dilapangan.” Dan pada malam mauled, raja mengadakan nyanyian setelah sholat magrib di benteng.”
Setelah penjelasan diatas, maka bagaimana dikatakan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah penggagas maulid nabi, padahal fakta sejarah menyebutkan bahwa beliau adalah seorang raja yang berupaya menghancurkan Negara Ubaidiyyah. [1]
Siapakah Gerangan Sholahuddin al Ayyubi [2]
Beliau adalah Sultan Agung Sholahuddin Abul Muzhoffar Yusuf bin Amir Najmuddin Ayyub bin Syadzi bin Marwan bin Ya’qub ad Duwini. Beliau lahir di Tkrit pada 532 H karena saat itu bapak beliau, Najmuddin, sedang menjadi gubernur daerah Tikrit.
Beliau belajar kepada para ulama zamannya seperti Abu Thohir as Silafi, al Faqih Ali bin Binti Abu Sa’id, Abu Thohir bin Auf, dan lainnya.
Nuruddin Zanki (raja pada saat itu) memerintah beliau untuk memimpin pasukan perang untuk masuk Mesir yang saat itu di kuasai oleh Daulah Ubaidiyyah sehingga beliau berhasil menghancurkan mereka dan menghapus Negara mereka dari Mesir.
Setelah Raja Nuruddin Zanki wafat, beliau yang menggantikan kedudukannya. Sejak menjadi raja beliau tidak lagi suka dengan kelezatan dunia. Beliau adalah seorang yang punya semangat tinggi dalam jihad fi sabilillah, tidak pernah didengar ada orang yang semisal beliau.
Perang dahsyat yang sangat monumental dalam kehidupan Sholahuddin al Ayyubi adalah Perang Salib melawan kekuatan kafir salibis. Beliau berhasil memporak porandakan kekuatan mereka, terutama ketika perang di daerah Hithin.
Muwaffaq Abdul Lathif berkata: “Saya pernah datang kepada Sholahuddin saat beliau berada di Baitul Maqdis (Palestina, red), ternyata beliau adalah seorang yang sangat dikagumi oleh semua yang memandangnya, dicintai oleh siapapun baik orang dekat maupun jauh. Para panglima dan prajuritnya sangat berlomba-lomba dalam beramal kebaikan. Saat pertama kali aku hadir di majelisnya, ternyata majelis beliau penuh dengan para ulama, beliau banyak mendengarkan nasihat dari mereka.”
Adz Dzahabi berkata: “Keutamaan Sholahuddin sangat banyak, khususnya dalam masalah jihad. Beliau pun seorang yang sangat dermawan dalam hal memberikan harta benda kepada para pasukan perangnya. Beliau mempunyai kecerdasan dan kecermatan dalam berfikir, serta tekad yang kuat.”
Sholahuddin al Ayyubi wafat di Damaskus setelah subuh pada hari Rabu 27 Shofar 589 H. Masa pemerintahan beliau adalah 20 tahun lebih.
________
Footnote:
[1] Untuk lebih lengkapnya tentang sejarah peringatan maulid nabi dan hokum memperingatinya, silahkan dilihat risalah Akhuna al- Ustadz Abu Ubaidah “Polemik Perayaan Maulid Nabi”
[2] Disarikan dari Siyar A’lamin Nubala’: 15/434 no.5301
Diketik ulang dari Majalah Al Furqon Edisi 09 Thn.XIII, Robi’uts Tsani 1430/April 2009, Hal.57

Rabu, Februari 17, 2010

FELDA: walau tanpa panel syariah...

KERAP sangat mendengar ucapan: Islam adalah satu sistem yang lengkap. Oleh kerana telah bergema sejak lebih 20 tahun yang lalu, maka saya secara peribadi sedang melihat apakah Islam telah mapan dalam semua ruang kehidupan, khasnya muslim. Yang paling kuat menjeritkan Islam sebagai pilihan ialah ahli-ahli politik, terutama apabila berhadapan dengan lawan-lawan politiknya. Maaf, ini bukanlah tanda Islam sudah mapan dalam segenap ruang.
Prof Dr Mahmood Zuhdi dalam catatan di sebuah majalah mengatakan bahawa institusi kewangan dan perbankan di negara kita begitu cepat memberi ruang kepada sistem kewangan Islam. Sekalipun dimulai dengan Bank Islam akhir tahun 1980-an, tetapi sekarang yang nyata aktif dalam kewangan Islam bukanlah bank Islam berkenaan. Maybank dan Public Bank sangat aktif dalam sistem kewangan Islam. Tentulah bank atau instirusi kewangan ini mempunyai panel syariah untuk mengawasi perjalanan perniagaan.
Di manakah lagi ada dilantik panel syariah supaya agensi atau institusi berkenaan bergerak atas landasan syariah Islam? Media Prima Berhad yang menguasai TV3, TV7, TV8 dan TV9 ada panel syariahkah? Kementerian Pelajaran ada panel syariahkah?
Saya tertarik membaca berita Felda sudah membangunkan lima loji biogas dan bakinya ada 51 buah loji lagi dalam proses pembinaan. Tahukah ulama apa itu logi biogas dan kepentingannya kepada manusia sejagat? Kalau di masjid, penceramah hanya mengatakan syariah Islam itu satu keperluan yang memenuhi kepentingan hidup manusia sejagat.
Loji biogas adalah kilang kitar semula gas methane yang terhasil daripada pemprosesan minyak sawit. Pelepasan gas methane ke atmosfera menghasilkan 21 kali ganda kepanasan berbanding gas karbon dioksida. Ertinya, selama ini semua kilang minyak sawit di negara kita melepaskan begitu saja gas methane yang menyumbang kepada kenaikan suhu bumi. Kenaikan suhu bumi secara berterusan bererti kehidupan manusia (dan makhluk lain) dalam keadaan semakin terancam. Senang cakap, hidup semakin panas, rimas, dan serba menyusahkan. Bukankah Islam menawarkan kesejahteraan? Kesejahteraan itu gagal dikecapi jika suhu bumi terus-terusan membahang.
Felda tidak ada panel syariah untuk menasihati agensi kerajaan itu supaya membina logi gas bagi mengitar gas methane yang selama ini dibazirkan. Felda menerima cadangan Protokol Kyoto yang menggariskan usaha menjaga kesejahteraan suhu bumi. Malaysia menandatangani protokol ini pada tahun 2002 dan sekarang bersama 187 negara berusaha mengurangkan pelepasan apa juga gas ke atmosfera.
Mesej catatan ini ialah: Selama ini orang-orang agama hanya memberitahu Islam yang menyelamatkan manusia dunia akhirat. Namun yang berfikir dan melaksanakan misi menyelamat bukanlah orang-orang berpendidikan agama. Memang ulama tidak tahu nama-nama gas yang terlepas ke udara, tetapi apakah dakwah mereka kepada manusia sama mementingkan usaha menyelamatkan alam sekitar yang dimantapkan dengan susunan nas-nas wahyu dan sunah? Kuliah-kuliah mereka di masjid dan surau ada menekankan soal kebersihan dan kitar semula? Muslim selalu ketinggalan kereta api, berbanding bangsa-bangsa lain.

Jumaat, Februari 12, 2010

GONG xi fa cai 2010

SELAMAT Tahun Baru Cina.  Saya tahu yang membaca blog ini terlalu sedikit daripada keturunan Cina.  Dalam al-Quran surah al-Hujuraat ada menceritakan Allah menjadikan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya saling kenal-mengenal antara satu sama lain.  Maka TBC ini sebagian daripada budaya hidup bangsa dan keturunan Cina.  Di Malaysia, keturunan Cina merupakan etnik kedua banyak selepas Melayu. Maka wajar sangat orang Melayu (Islam) meneliti cara hidup kaum ini kerana dengan memahami cara hidup mereka memudahkan mengenali perwatakannya.  Dengan mengenali perwatakan dan tasawur hidupnya, memudahkan para duat menyampaikan dakwah Islam.

Dahulu saya mengangggap bahawa TBC adalah upacara agama Buddha. Tanggapan ini pun daripada ustaz yang mengajarkan dalam salah satu kuliah agama. Katanya kita dilarang berada dalam majlis TBC kerana dianggap turut merayakan agama lain.  Saya pun faham tafsir surah al-Kafirun itu: Bagi kamu agama kamu, bagai kami agama kami. Baru-baru ini pun seorang rakan saya yang memilih manhaj salaf masih beranggapan seperti itu. Tak tahulah, apakah setelah saya menerangkan TBC itu budaya bangsa, bukan agama, dia akan menerima atau tidak.

Jiran saya baru memberi saya kuih-muih kebesaran mereka.  Oh ya, semasa hari raya lepas, saya memberikan jiran saya ini (Keluarga Ong) kuih-muih Melayu.

Selasa, Februari 09, 2010

YANG kulihat Umno dan Pas

APABILA Mursyidul Am Parti Islam Se-Malaysia (Pas) begitu marah kepada Umno, para pemimpin Umno mengatakan sepatutnya Pas dan Umno berdialog untuk kepentingan umah. Tidak kurang pemimpin Umno yang menyatakan kesediaan bertemu dengan pemimpin Pas untuk membincang masalah umah. Sekarang, sewaktu MB Kelantan itu menyuarakan hasrat barunya untuk berdamai dan berunding dengan Umno demi kepentingan umah, para pemimpin Umno pula mencurigai niat itu, sebagai tanda tidak sudi hendak bertemu!
Rakyat sebagai pengundi sebenarnya tidak ada apa-apa kepentingan kuasa. Apa yang rakyat marhean mahukan ialah kebajikan, hak-hak ekonomi dan sosial mereka terjaga sepanjang kehidupan. Rakyat yang pemikirannya terlalu polos, tidak perduli apa-apa niat baik dan buruk para pemimpin politik. Oleh itu, rakyat sedang memandang orang-orang politik ini sebagai pelakon-pelakon drama. Sama seperti cerita kartun Tom dan Jerry!
Apa masalahnya Pas dan Umno hendak duduk semeja dari berbasi-basi saja kepada soal kepentingan umah? Berbeda sangatkan antara Umno dan Pas sehingga tidak ada ruang untuk bertemu. Malah jika salah satu pihak mahu bertemu, satu pihak lain akan buat jual mahal. Politik ‘jual mahal’ ini telah bersilih-ganti, dan patutkan ini menjadi satu cara berpolitik orang Melayu Islam.
Manusia-manusia politik ini bukanlah majoriti dalam masyarakat, mereka minoriti. Namun kerana kedudukan ahli politik lebih tinggi dalam hieraki masyarakat, menyebabkan rakyat majoriti, yang tidak ada kepentingan perebutan kuasa telah diusik emosi dan pemikirannya sepanjang masa. Dalam banyak perkara berkaitan dengan politik antara Pas dan Umno, tindakan pemimpin kedua-dua parti bukanlah suara sebenar masyarakat Melayu. Masyarakat dipaksa menerima hujahan politik, sedangkan masyarakat bosan dengan pertikaian politik sepanjang masa.
Sama ada Umno atau Pas, kedua-duanya bebas mendakwa sebagai parti yang membawa Islam dalam kehidupan masyarakat. Pas mendakwa berteraskan al-Quran dan Sunah, manakala Umno mengaku memperjuangkan Islam. Dalam ceramahnya, Pas dikatakan sanggup berkorban untuk laksanakan Islam. Dalam mana-mana ucapan pemimpin Umno kerap juga mengatakan supaya kehidupan berlandaskan al-Quran dan Sunah nabi. Kalau sudah begitu idea dan kehendak kedua-dua parti ini, apa masalahnya lagi?
Orang-orang Umno dan Pas, semuanya berasal dari lubuk dan budaya yang sama. Mereka bersekolah dan belajar agama daripada satu sistem dan mazhab yang sama. Kedua-dua parti ini juga sudah diberi hak memerintah negara dan negeri. Jika rakyat melihat Umno ada kelemahan, rakyat juga tahu apa kelemahan Pas. Jika masyarakat memuji kebaikan dan kesungguhan Umno, hal yang sama diberikan kepada Pas.
Perbedaan antara Umno dan Pas hanya dalam kandang politik masing-masing, tetapi tidak dikongsi secara jujur terutama dalam kalangan masyarakat. Kerana berseteru, segala keburukan lawan dibesar-besarkan sedangkan hal yang sama dilakukan oleh ahli partinya. Hal ini ada dalam Umno dan Pas.
Janganlah membuat masyarakat meluat dan benci dengan akhlak ahli-ahli politik. Persepsi rakyat untuk memberi gelar penipu setakat ini ialah: Pertama, para peniaga dan kedua ahli-ahli politik. Sekarang, di tangan mereka persepsi ini digalas, sama ada hendak diteruskan atau dihapuskan.

Sabtu, Februari 06, 2010

JANGAN sedekah barang buruk!

ANJURAN bersedekah atau memberi sesuatu kepada pihak lain memang kerja kebajikan yang mulia. Terlalu banyak konsep dan prinsip berinfak atau membelanjakan harta di jalan Allah diceramahkan agar sesama umat saling beri-memberi. Misalnya berilah wang, pakaian dan bahan makanan kepada keluarga miskin yang banyak ahli keluarganya. Alangkah senang dan syukurnya orang-orang yang serba kesempitan dalam hidup menerima pemberian itu, walhal mereka pula bukanlah pihak yang meminta-minta daripada orang ramai.
Allah telah memberi satu jaminan yang boleh difahami dengan mudah seperti dalam surah al-Baqarah ayat 261 (maksudnya), “perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti dengan sebutir benih yang tumbuh (dan membesar) menjadi tujuh tangkai yang pada setiap tangkai itu terdapat 100 biji benih pula. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki dan Allah maha luas kurnia-Nya lagi maha mengetahui.”
Sekalipun begitu besar ganjaran kerana bersedekah atau menolong seseorang, namun ada perkara lain yang wajib diperhatikan. Sesungguhnya al-Quran ini petunjuk yang lengkap. Ada sedekah yang dilarang oleh Allah. Perhatikan dalam ayat 267 surah yang sama (maksudnya), “Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah sebagian daripada hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian daripada yang Kami dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mahu mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (tidak mahu melihat-tiada nilai) terhadapnya. Dan ketahuilah bahawa Allah maha kaya lagi terpuji.”
Daripada ayat berkenaan jelas Allah menyuruh muslim bersedekah dengan barang yang ada nilai kepada pemberi sedekah itu sendiri. Contoh yang bernilai ialah wang, yang pastinya si pemberi tidak akan membuang wang berkenaan kerana sangat berguna dalam kehidupan sekalipun nilainya sedikit.
Selain itu jelas Allah melarang muslim memberi sedekah barang yang baginya sudah tidak ada nilai, atau layak dibuang ke tong sampah. Contoh sesuatu yang dianggap tidak ada nilai ialah barangan, bukannya wang. Hal ini sangat subjektif kerana nilaian sesuatu barang kepada seseorang sangat berbeza berdasarkan keperluan, minat atau penggunaan. Sehelai kain sarung berharga RM20.00 dikira bernilai kepada seorang lelaki berpendapatan kecil dan sederhana, tetapi kain yang sama sangat kecil nilainya kepada seorang jutawan.
Oleh kerana nilaian sesuatu barangan begitu subjektif, maka Islam menganjurkan barang yang hendak disedekahkan mestilah mengikut nilaian si pemberi, bukan penerima. Prinsip pemberian kepada seseorang untuk diertikan sebagai sedekah merupakan pengorbanan daripada si pemberi. Jika nilaian sedekah berdasarkan pihak yang menerima, tentulah pemberi akan memberikan barangan yang tidak bernilai kepada dirinya tetapi bernilai tinggi kepada si penerima. Hal ini berlawanan dengan larangan Allah supaya tidak memberikan sesuatu yang pemberi sendiri tidak memerlukannya lagi.
Sedekah ini benar-benar bahan uji pengorbanan yang diperhatikan Allah. Erti pengorbanan itu ialah si pemberi pasti merasa ‘kerugian’ kerana hak yang ada padanya telah diserahkan kepada orang lain. Semua itu atas kehendak dan keikhlasannya, bukan kerana terpaksa atau untuk membina imej dalam masyarakat. Dapatlah difahami bahawa sedekah juga satu perjuangan dalam diri untuk mengikis sifat tamak dan bakhil. Memang sukar menjalankan perjuangan dan pengorbaban, namun itulah satu kaedah Allah melihat keikhlasan hamba-hamba-Nya memberi nafkah sesama manusia.
Keadaan ini terakam dalam ayat 92 surah Ali Imran (maksudnya), “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Perkara lain yang penting untuk dijaga ialah memastikan pahala berinfak itu kekal sehingga akhir hayat muslim. Keikhlasan yang berlaku pada hari ini mungkin menjadi cabaran besar pada masa akan datang. Misalnya, seorang telah memberi pertolongan kepada jirannya dalam bentuk nasihat dan wang ringgit dan dia benar-benar melakukannya kerana hendak menolong. Kerana bantuan itu pihak jiran telah keluar daripada masalah hidup.
Suatu waktu yang lama kemudian Allah menguji keikhlasan si pemberi bantuan tadi dengan perubahan sikap jirannya pula. Mungkin saja pihak jiran yang dibantu telah mengatasi keilmuan dan kekayaannya, kemudian menjadi kurang mesra kepada orang yang pernah membantunya dahulu. Jika si pemberi bantuan tadi mengungkit apa yang telah diberinya beberapa tahun dahulu, maka putuslah keikhlasan yang sekian lama dijaga. Hilanglah pahala yang selama ini dipertahankan dan kosonglah pahala hasil bantuan nasihat dan wang kepada jirannya dahulu.
Keadaan ini diperjelaskan oleh Allah dalam al-quran, ayat 264 surah al-Baqarah yang bermaksud, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan si penerimanya. (Keadaan ini) seperti orang yang menafkahkan hartanya kerana riya kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah, dan hari akhirat. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu jadilah bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”
Demikianlah Allah menetapkan amalan berinfak atau bersedekah sebagai tanda menguji tahap pengorbanan, keikhlasan dan kesabaran seseorang. Selain itu dapatlah difahami bahawa bersedekah juga mempunyai prinsip tersendiri sekalipun amal bersedekah itu sangat mudah dilakukan oleh sesiapa juga.
Semua ini pengajaran daripada al-Quran mengenai sedekah.

Isnin, Februari 01, 2010

STATUS hadis 9/10 rezeki dalam bisnes

By: adlan abd aziz - alitantawi@yahoo.com
Hadith ini adalah di antara hadith yang popular dan sering digunakan oleh sebahagian masyarakat kita terutama dalam bidang perniagaan. Seperti yang telah kita sedia maklum - atau belum - , kesahihan atau kedhaifan sesuatu hadith tidak hanya diukur dengan popularitinya semata. Memang ada hadith yang sahih dan popular...tetapi dalam masa yang sama juga terdapat hadith-hadith dhaif malah palsu tetapi ia popular dan sering digunakan di mana-mana.
Apabila kita mengetahui hakikat bahawa populariti tidak menjamin kesahihan, (kaedah ini juga diakui dalam kajian lain) maka menjadi tanggungjawab kita untuk menyelidiki kesahihan sesuatu hadith dan tidak hanya bergantung kepada kemasyhuran atau popularitinya sahaja.
Maka dari manakah asal datangnya hadith ini? Di antara disiplin dalam menyebutkan hadith-sebagaimana diketahui dalam kajian hadith- ialah menyatakan sumber atau asal sesebuah hadith. Ia membantu dalam proses seterusnya iaitu menilai sama ada ia sahih atau tidak.
SUMBER ASAL HADITH '9/10 REZEKI'
Berdasarkan pencarian dan dibantu oleh kajian-kajian terdahulu, hadith ini disebutkan dalam beberapa lafaz berbeza tetapi membawa maksud yang sama iaitu 9/10 rezeki ada dalam perniagaan. Didapati hadith ini disebut oleh Imam al-Ghazali (wafat 505H) di dalam bukunya yang terkenal iaitu Ihya' Ulumiddin. Menurut cetakan yang ada pada saya iaitu cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, tahun 2001, ia disebut dalam jilid 2, muka surat 59 dalam Kitab Aadaab al-Kasb wa al-Ma'asy, Bab pertama 'Fadhl al-Kasb wa al-Hatth 'Alaih (Kitab adab-adab mencari rezeki dan pendapatan, bab kelebihan mencari rezeki dan galakkan ke atasnya). Tetapi ini tidak bermaksud Imam al-Ghazali 'meriwayatkannya' kerana beliau tidak menyebutkan sanad (rantaian periwayat) terhadap hadith ini. Maka yang lebih tepat ialah Imam al-Ghazali 'menyebutkannya' di dalam buku Ihya' Ulumiddin. (saya menasihatkan sahabat-sahabat yang menulis tentang hadith agar berhati-hati dengan perbezaan antara 'menyebutkan' da 'meriwayatkan' atau 'mengeluarkan' )
Bagi yang pernah membaca buku Ihya' Ulumiddin, mereka pasti akan tahu bahawa terdapat seorang ahli hadith yang digelar al-Iraqi (wafat 806H) yang telah menyemak dan memberikan ulasan terhadap hadith-hadith yang ada di dalam buku Ihya' Ulumiddin. Apa yang beliau lakukan ialah atas permintaan pencinta ilmu untuk mengetahui kedudukan dan sumber asal hadith-hadith di dalam buku tersebut. Malah kebanyakan cetakan Ihya' Ulumiddin dimuatkan bersama komentar dan ulasan al-Iraqi ini dalam bentuk nota kaki di bawah teks asal Ihya' Ulumiddin.
KOMENTAR AL-IRAQI TERHADAP HADITH '9/10'
Apa kata al-Iraqi? Beliau telah menyatakan bahawa hadith ini telah diriwayatkan oleh: Ibrahim al-Harbi dalam bukunya Gharib al-Hadith melalui jalan Nu'aim Bin Abd. Rahman dan kesemua periwayatnya thiqat (dipercayai). Seterusnya beliau menyatakan kata-kata dari tiga imam hadith iaitu: Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibn Mandah menyatakan bahawa Nu'aim Bin Abd. Rahman bukanlah seorang sahabat tetapi seorang tabi'i (sempat bertemu sahabat dan tidak sempat bertemu Rasulullah s.a.w.), maka kata al-Iraqi: Hadith ini mursal.
Maksud al-Iraqi dengan kata-katanya: 'mursal' ialah hadith ini dinyatakan oleh Nu'aim Bin Abd. Rahman sebagai 'Nabi s.a.w. bersabda' sedangkan beliau tidak pernah bertemu dengan Rasulullah s.a.w. bahkan beliau merupakan seorang tabi'i. Hadith dalam kategori sebegini diistilahkan sebagai mursal dan ia adalah antara kategori hadith yang belum dipastikan sahih atau dhaif. Untuk lebih lanjut, sila rujuk mana-mana buku ilmu hadith dan cari perbincangan tentang kategori hadith yang diistilahkan sebagai 'mursal'.
KESIMPULAN DARIPADA KATA-KATA AL-IRAQI
Apa yang dapat kita fahami daripada ulasan al-Iraqi - bagi sahabat-sahabat yang memahami bahasa Arab, boleh baca ulasan beliau dalam jilid dan muka surat yang telah disebut di atas ialah:
- Hadith ini sumber asalnya ialah buku Gharib al-Hadith hasil susunan Ibrahim al-Harbi.
- Di dalam hadith ini, didapati Nu'aim Bin Abd. Rahman telah menyebut bahawa ia berasal daripada Rasulullah s.a.w.
- Namun dalam periwayatan hadith, hanya seorang sahabat (sempat bertemu Rasulullah s.a.w.) yang boleh menyatakan demikian.
- Setelah dikaji oleh al-Iraqi, didapati Nu'aim bukan seorang sahabat, tetapi seorang tabi'i.
- Ini menjadikan hadith tersebut terputus. Dalam hal ini, ia diistilahkan sebagai 'mursal'. Seluruh ulama hadith sepakat bahawa hadith 'mursal' bukanlah salah satu kategori 'hadith sahih'. Ia perlukan kepada banyak syarat dan keadaan untuk menaikkan kedudukannya ke tahap 'sahih'. Bukalah mana-mana buku Mustolah al-Hadith, pasti akan ada perbincangan panjang tentang kategori hadith yang diistilahkan sebagai 'mursal'. Kebanyakan pengkaji juga menyebutkan bahawa 'mursal' pada penggunaan ulama awal ialah lebih luas dan ia membawa maksud kedhaifan.
SUMBER LAIN
Namun begitu, hadith ini juga ditemui dalam sumber yang lain. Mari kita lihat bersama. Hadith ini ditemui antaranya di dalam :
a) Buku Sunan Sa'id Bin Mansur - Ia dinyatakan oleh Markaz Fatwa dari laman web islamweb.net (fatwa no.61297), namun saya tidak dapat menemui ia dalam buku tersebut untuk mengesahkan kedudukannya dan nombor serta kedudukannya yang lebih terperinci. Namun Markaz Fatwa menyatakan ia berasal dari riwayat Nu'aim Bin Abd. Rahman dan Yahya Bin Jabir al-Tooi.
b) Buku Islah al-Mal, Ibnu Abi al-Dunya (wfat 281H) (cetakan Muassasah al-Kutub al-Thaqafiyyah, tahun 1993) - ia meriwayatkan hadith ini yang bersumberkan Nu'aim Bin Abd. Rahman (hadith no.213) . Maka ia sama juga seperti yang disebutkan di atas tadi. Ia hanya pengulangan rantaian periwayatan yang sama.
c) Buku al-Jami' al-Shaghir, al-Suyuti (wafat 911H)- dalam buku ini, hadith tersebut disebutkan (bukan diriwayatkan) dan seterusnya kita dapati al-Suyuti membuat ulasan yang amat ringkas iaitu - daripada Nu'aim Bin Abd. Rahman dan Yahya Bin Jabir al-Too'i secara 'mursal'. Kita dapati al-Suyuti menambah seorang lagi tabi'i yang meriwayatkan hadith tersebut. Tetapi beliau masih menyatakan ianya 'mursal' dan ia kembali kepada perbincangan panjang tentang kedudukan hadith 'mursal' dalam ilmu kajian hadith atau mustolah al-hadith.
d) Buku Gharib al-Hadith karya Abu Ubaid al-Qaasim Bin Sallaam (wafat 224H) (cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah, tahun2003) - di dalam jilid pertama, muka surat 80, didapati Abu Ubaid telah menyebut hadith ini dan didapati jalannya juga melalui jalan periwayatan Nu'aim Bin Abd. Rahman.
KESIMPULAN PENTING
1- Hadith ini walaupun popular, ia tidak disebutkan atau diriwayatkan di dalam buku-buku hadith utama seperti: Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, buku-buku Sunan, Musnad-musnad dan lain-lain lagi. Ini merupakan di antara (salah satu) petunjuk tentang kedhaifan sesebuah hadith.
2- Di dalam semua buku utama hadith seperti di atas, terdapat bab-bab dan hadith-hadith tentang perniagaan. Sekiranya ia sahih dan penting - berdasarkan maksudnya - pasti ia akan berada di dalam buku-buku utama tersebut dan dijadikan dalil utama dalam menggalakkan perniagaan.
3- Tidak kita temui kenyataan dari mana-mana ahli hadith utama yang menyatakan kesahihan hadith ini. Apa yang ada hanyalah sebahagian ulama menyebutnya di dalam buku mereka dengan rantaian periwayat yang mana ia (rantaian periwayat itu) difahami - oleh pengkaji hadith - bahawa ia merupakan petunjuk kepada kedhaifannya. Ahli hadith moden juga didapati menilainya sebagai dhaif.
4- Untuk menyatakan bahawa perniagaan adalah baik dan Islam menggalakkannya, sudah memadai dengan ayat-ayat Al-Quran - contohnya ayat 275 surah Al-Baqarah - dan hadith-hadith yang penuh dengan panduan dalam perniagaan. Lagipun, hakikat bahawa Nabi s.a.w. pernah berniaga semasa mudanya dan para sahabat juga ramai yang menceburi bidang ini juga sudah cukup menggalakkan kita untuk melakukannya. Kita tidak perlukan lagi hadith yang dhaif atau tidak pasti sebagai dalil. Begitu juga kita boleh mengetengahkan fakta-fakta sahih tentang para Nabi selain Rasulullah s.a.w. yang juga berniaga dan bekerja sendiri.
5- Hendaklah kita berhati-hati dengan populariti sesuatu hadith atau kata-kata, kerana ia mungkin tidak sahih atau tidak tepat.
6- Bagi mereka yang tetap ingin menyebut hadith ini sekadar menggunakan maknanya, adalah dinasihatkan mengikuti saranan imam-imam hadith seperti al-Nawawi, Ibn Hajar dan lain-lain yang mana mereka menyarankan agar membezakan antara 'cara menyebut' sesuatu hadith yang sahih atau dhaif. Seeloknya hendaklah digunakan ayat-ayat seperti - terdapat sebuah riwayat menyatakan bahawa..., sebagaimana di dalam sebuah hadith dhaif..., agar masyarakat tidak terkeliru.
7- Pandangan ini hanyalah sekadar kemampuan saya dan artikel ringkas ini diharapkan dapat dinilai dan diterima dengan adil. Jika berlaku kesilapan dan kekurangan, harap dapat diberi maklum balas secepat mungkin kepada penulis - sama ada dengan pm kepada nickname alitantawi di laman web al-ahkam.net atau dengan alamat e mail pemudaiman@yahoo.com , alitantawi@yahoo.com dan juga dalam facebook - adlan abd. aziz.