Pengikut

Isnin, Februari 27, 2017

MENGUMPAT / MENGGUNJING APA?

CATATAN seorang sahabat kita:

Menceritakan ‘aib orang lain tanpa ada hajat sama sekali, inilah yang disebut dengan ghibah. Karena ghibah artinya membicarakan ‘aib orang lain sedangkan ia tidak ada di saat pembicaraan. ‘Aib yang dibicarakan tersebut, ia tidak suka diketahui oleh orang lain.

Adapun dosa ghibah dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak tahu siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.”

Asy Syaukani rahimahullah kembali menjelaskan, “Dalam ayat di atas terkandung isyarat bahwa kehormatan manusia itu sebagaimana dagingnya. Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan kehormatannya dilarang untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan agar seseorang menjauhi perbuatan ghibah. Ayat ini menjelaskan bahwa ghibah adalah perbuatan yang teramat jelek. Begitu tercelanya pula orang yang melakukan ghibah.”

Adapun yang dimaksud ghibah disebutkan dalam hadits berikut,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim no. 2589, Bab Diharamkannya Ghibah)

Ghibah dan menfitnah (menuduh tanpa bukti) sama-sama keharaman. Namun untuk ghibah dibolehkan jika ada tujuan yang syar’i yaitu dibolehkan dalam enam keadaan sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah. Enam keadaan yang dibolehkan menyebutkan ‘aib orang lain adalah sebagai berikut:
1- Mengadu tindak kezaliman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang. Semisal mengatakan, “Si Ahmad telah menzalimiku.”
2- Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar dan untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar. Semisal meminta pada orang yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Rahmat telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”
3- Meminta fatwa pada seorang mufti seperti seorang bertanya mufti, “Saudara kandungku telah menzalimiku demikian dan demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari kezaliman yang ia lakukan.”
4- Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perowi hadits.
5- Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau bid’ah yang ia lakukan, bukan pada masalah lainnya.
6- Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si buta. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik. (Syarh Shahih Muslim, 16: 124-125)
Kalau kita perhatikan apa yang dimaksud oleh Imam Nawawi di atas, ghibah masih dibolehkan jika ada maslahat dan ada kebutuhan. Misal saja, ada seseorang yang menawarkan diri menjadi pemimpin dan ia membawa misi berbahaya yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin, apalagi ia mendapat backingan dari non muslim dan Rafidhah (baca: Syi’ah), maka sudah barang tentu kaum muslimin diingatkan akan bahayanya. Namun yang diingatkan adalah yang benar ada pada dirinya dan bukanlah menfitnah yaitu menuduh tanpa bukti. Wallahu waliyyut taufiq.
Disusun di Jayapura, Papua, 26 Rajab 1435 H

Jumaat, Februari 10, 2017

PAHALA sebesar Uhud pun bisa hilang!

PAHALA merupakan hadiah atau ganjaran kerna melakukan amal ibadah kepada Allah.  Pahala, sama seperti dosa (hukuman) di sisi Allah merupakan perkara ghaib, yang manusia tidak tahu apa-apa kecuali dikhabarkan oleh Allah atau melalui lisan rasul-Nya. Umumnya Allah memberikan pahala sebagai hadiah.  Allah dan rasulnya memberi gambaran sebanyak mana pahala itu dan bagaimana pahala itu juga bisa hilang setelah awalnya dihadiahkan oleh Allah.

Bukit Uhud di Madinah

Oleh kerna manusia menetap di muka bumi maka gambaran banyak atau sedikit atau hilangnya juga dicontohkan melalui apa yang ada di bumi.  Oleh itu mudahlah manusia memahami kuantiti pahala yang disandarkan dengan keperluan manusia.  Mislanya pahala menziarahi jenazah atau mensolati hingga selesai penguburannya.

Daripada  Abu Hurairah r.a.  katanya: "Rasulullah SAW  bersabda (maksudnya): ‘Barangsiapa menziarah jenazah orang Muslim kerana iman dan ikhlas serta turut solat jenazah bersama-sama dan menguruskan pengkebumiannya sampai selesai,  maka orang itu pulang membawa pahala dua qirat (satu qirat kira-kira sebesar Bukit Uhud). Dan siapa yang hanya mengikuti solat jenazah sahaja kemudian dia pulang sebelum pengkebumian maka orang itu pulang membawa pahala satu qirat."
(Hadis Riwayat Imam al-Bukhari)

Diriwayatkan hadis daripada Qatadah,  daripada Zurarah b Aufa , hadith daripada  Said b Hisyam, hadith daripada  A’isyah hadith daripada  Nabi s.a.w  yang bersabda: “Rak’atal fajri khairun minad-dunya wa-ma fiha.’ (bermaksud): Dua rakaat solat  (sunat) sebelum Solat Fajr (Subuh) itu lebih baik daripada dunia  dan seisinya.”  
(Hadis riwayat Imam  Muslim)

Orang menyebut gunung atau bukit Uhud, suatu yang besar. Tentu manusia sangat mahu memiliki barang berharga sebesar gunung.  Begitu juga motivasi kepada orang yang shaat dua rakaat (sunat) sebelum shalat fardu Subuh.  Ganjarannya melebihi satu planet bumi dan segala kekayaan yang ada pada bumi! Raja yang berkuasa dalam negeri dan punya hasil minyak pun sudah sangat mewah, inikan pula satu bumi dia miliki.  Itu di akhirat kelak dia mendapatnya. Jadi orang beriman berlumba-lumba meraih kekayaan di akhirat dengan shalat sunat itu.

Namun jangan dilupa Allah itu Maha  Adil. Jika kita melanggar syarat-syarat pemilikan hadiah itu, Allah akan mengambilnya semula.  Kosonglah kantong pahala yang selama ini tersimpan rapi.  Allah sahaja yang tahu kecuali kita hanya diberi gambaran pasal batu, debu dan air hujan.  Gambaran di sisi kehidupan yang mudah dipahami orang biasa.

Surah al-Baqarah ayat 264 (bermaksud), “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya kerna riya’ (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat.  Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi.  Mereka tidak memperoleh suatu apa pun daripada apa yang dikerjakan.  Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”


Allahu ‘aklam