Pengikut

Jumaat, Januari 28, 2011

ANTARA adat dan ibadah

Oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari

Ini adalah sub kajian yang sangat penting yang membantah anggapan orang yang dangkal akal dan ilmunya, jika bid’ah atau ibadah yang mereka buat diingkari dan dikritik, sedang mereka mengira melakukan kebaikan, maka mereka menjawab : “Demikian ini bid’ah ! Kalau begitu, mobil bid’ah, listrik bid’ah, dan jam bid’ah!”

Sebagian orang yang memperoleh sedikit dari ilmu fiqih terkadang merasa lebih pandai daripada ulama Ahli Sunnah dan orang-orang yang mengikuti As-Sunnah dengan mengatakan kepada mereka sebagai pengingkaran atas teguran mereka yang mengatakan bahwa amal yang baru yang dia lakukan itu bid’ah seraya dia menyatakan bahwa “asal segala sesuatu adalah diperbolehkan”.


Ungkapan seperti itu tidak keluar dari mereka melainkan karena kebodohannya tentang kaidah pembedaan antara adat dan ibadah. Sesungguhnya kaidah terseubut berkisar pada dua hadits. 

Pertama : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa melakukan hal yang baru dalam urusan (agama) kami ini yang tidak ada di dalamnya, maka amal itu tertolak”.

Hadits ini telah disebutkan takhrij dan syarahnya secara panjang lebar.

Kedua : Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa penyilangan serbuk sari kurma yang sangat masyhur.

“Artinya : Kamu lebih mengetahui tentang berbagai urusan duniamu”

Hadits ini terdapat dalam Shahih Muslim (1366) dimasukkan ke dalam bab dengan judul : “Bab Wajib Mengikuti Perkataan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Dalam Masalah Syari’at Dan Yang Disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Tentang Kehidupan Dunia Berdasarkan Pendapat”, dan ini merupakan penyusunan bab yang sangat cermat 

Atas dasar ini maka sesungguhnya penghalalan dan pengharaman, penentuan syari’at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan jumlah, cara dan waktu-waktunya, serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam muamalah adalah hanya hak Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri [1] di dalamnya. Sedangkan kita dan mereka dalam hal tersebut adalah sama. Maka kita tidak boleh merujuk kepada mereka jika terjadi perselisihan. Tetapi kita harus mengembalikan semua itu kepada Allah dan Rasul-Nya.


Adapun tentang bentuk-bentuk urusan dunia maka mereka lebih mengetahui daripada kita. Seperti para ahli pertanian lebih mengetahui tentang apa yang lebih maslahat dalam mengembangkan pertanian. Maka jika mereka mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan pertanian, umat wajib mentaatinya dalam hal tersebut. Para ahli perdagangan ditaati dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan perdagangan.

Sesungguhnya mengembalikan sesuatu kepada orang-orang yang berwenang dalam kemaslahatan umum adalah seperti merujuk kepada dokter dalam mengetahui makanan yang berbahaya untuk dihindari dan yang bermanfaat darinya untuk dijadikan santapan. Ini tidak berarti bahwa dokter adalah yang menghalalkan makanan yang manfaat atau mengharamkan makanan yang mudharat. Tetapi sesungguhnya dokter hanya sebatas sebagai pembimbing sedang yang menghalalkan dan mengharamkan adalah yang menentukan syari’at (Allah dan Rsul-Nya), firmanNya.

“Artinya : Dan menghalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala hal yang buruk” [Al-Araf : 157] [2].

Dengan demikian anda mengetahui bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan tertolak. Adapun bid’ah dalam masalah dunia maka tiada larangan di dalamnya selama tidak bertentangan dengan landasan yang telah ditetapkan dalam agama [3]. Jadi, Allah membolehkan anda membuat apa yang anda mau dalam urusan dunia dan cara berproduksi yang anda mau. Tetapi anda harus memperhatikan kaidah keadilan dan menangkal bentuk-bentuk mafsadah serta mendatangkan bentuk-bentuk maslahat.” [4]

Adapun kaidah dalam hal ini menurut ulama sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah [5] adalah: “Sesungguhnya amal-amal manusia terbagi kepada : Pertama, ibadah yang mereka jadikan sebagai agama, yang bermanfaat bagi mereka di akhirat atau bermanfaat di dunia dan akhirat. Kedua, adat yang bermanfaat dalam kehidupan mereka. Adapun kaidah dalam hukum adalah asal dalam bentuk-bentuk ibadah tidak disyari’atkan kecuali apa yang telah disyariatkan Allah. Sedangkan hukum asal dalam adat [6] adalah tidak dilarang kecuali apa yang dilarang Allah”.

Dari keterangan diatas tampak dengan jelas bahwa tidak ada bid’ah dalam masalah adat, produksi dan segala sarana kehidupan umum”.

Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Mahmud Syaltut dalam kitabnya yang sangat bagus, Al-Bid’ah Asabbuha wa Madharruha (hal. 12 –dengan tahqiq saya), dan saya telah mengomentarinya sebagai berikut, “Hal-hal tersebut tiada kaitannya dengan hakikat ibadah. Tetapi hal tersebut harus diperhatikan dari sisi dasarnya, apakah dia bertentangan dengan hukum-hukum syari’at ataukah masuk di dalamnya”.

Di sini terdapat keterangan yang sangat cermat yang diisyaratkan oleh Imam Syathibi dalam kajian yang panjang dalam Al-I’tisham (II/73-98) yang pada bagian akhirnya disebutkan, “Sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan adat jika dilihat dari sisi adatnya, maka tidak ada bid’ah di dalamnya. Tetapi jika adat dijadikan sebagai ibadah atau diletakkan pada tempat ibadah maka ia menjadi bid’ah”.

Dengan demikian maka “tidak setiap yang belum ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga belum ada pada masa Khulafa Rasyidin dinamakan bid’ah. Sebab setiap ilmu yang baru dan bermanfaat bagi manusia wajib dipelajari oleh sebagian kaum muslimin agar menjadi kekuatan mereka dan dapat meningkatkan eksistensi umat Islam.

Sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang baru dibuat oleh manusia dalam bentuk-bentuk ibadah saja. Sedangkan yang bukan dalam masalah ibadah dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syari’at maka bukan bid’ah sama sekali” [7]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah (hal. 22) berkata, “ Adapun adat adalah sesuatu yang bisa dilakukan manusia dalam urusan dunia yang berkaitan dengan kebutuhan mereka, dan hukum asal pada masalah tersebut adalah tidak terlarang. Maka tidak boleh ada yang dilarang kecuali apa yang dilarang Allah. Karena sesungguhnya memerintah dan melarang adalah hak prerogratif Allah. Maka ibadah harus berdasarkan perintah. Lalu bagaimana sesuatu yang tidak diperintahkan di hukumi sebagai hal yang dilarang?

Oleh karena itu, Imam Ahmad dan ulama fiqh ahli hadits lainnya mengatakan, bahwa hukum asal dalam ibadah adalah tauqifi (berdasarkan dalil). Maka, ibadah tidak disyariatkan kecuali dengan ketentuan Allah, sedang jika tidak ada ketentuan dari-Nya maka pelakunya termasuk orang dalam firman Allah.

“Artinya : Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak dizinkan Allah?” [Asy-Syuraa : 21]

Sedangkan hukum asal dalam masalah adat adalah dimaafkan (boleh). Maka, tidak boleh dilarang kecuali yang diharamkan Allah.

“Artinya : Katakanlah. Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. ‘Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” [Yunus : 59]

Ini adalah kaidah besar yang sangat berguna. [8]

Yusuf Al-Qaradhawi dalam Al-Halal wal Haram fil Islam (hal.21)berkata, “Adapun adat dan muamalah, maka bukan Allah pencetusnya, tetapi manusialah yang mencetuskan dan berinteraksi dengannya, sedang Allah datang membetulkan, meluruskan dan membina serta menetapkannya pada suatu waktu dalam hal-hal yang tidak mendung mafsadat dan mudharat”.

Dengan mengetahui kaidah ini [9], maka akan tampak cara menetapkan hukum-hukum terhadap berbagai kejadian baru, sehingga tidak akan berbaur antara adat dan ibadah dan tidak ada kesamaran bid’ah dengan penemuan-penemuan baru pada masa sekarang. Dimana masing-masing mempunyai bentuk sendiri-sendiri dan masing-masing ada hukumnya secara mandiri.

[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah,Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]
__________
Foote Note
[1]. Maksudnya ulama dan umara
[2]. Ushul fil Bida’ was Sunan : 94
[3]. Ini batasan yang sangat penting, maka hendaklah selalu mengingatnya!
[4]. Ushul fil Bida’ was Sunan : 106
[5]. Al-Iqtidha II/582
[6]. Lihat Al-I’tiham I/37 oleh Asy-Syatibi.
[7]..Dari ta’liq Syaikh Ahmad Syakir tentang kitab Ar-Raudhah An-Nadiyah I/27
[8]. Sungguh Abdullah Al-Ghumari dalam kitabnya “Husnu At-Tafahhum wad Darki” hal. 151 telah mencampuradukkan kaidah ini dengan sangat buruk, karena menganggap setiap sesuatu yang tidak terdapat larangannya yang menyatakan haram atau makruh, maka hukum asal untuknya adalah dipebolehkan. Dimana dia tidak merincikan antara adat dan ibadah. Dan dengan itu, maka dia telah membantah pendapatnya sendiri yang juga disebutkan dalam kitabnya tersebut seperti telah dijelaskan sebelumnya.
[9]. Lihat Al-Muwafaqat II/305-315, karena di sana terdapat kajian penting dan panjang lebar yang melengkapi apa yang ada di sini.

Rabu, Januari 19, 2011

UNTUNGnya bertaubat dalam Islam

MANUSIA diberi akal untuk berfikir mengenai apa yang berlaku di sekelilingnya.  Membanding antar dua atau tiga perkara adalah salah satu proses berfikir, menentukan yang betul dan terbaik. 

Bagaimanakah seseorang muslim yang mahu bersih daripada dosa? Oleh kerna hal ini sangat difahami dengan jelas, bahawa Allah tidak meminta hamba-hamba-Nya melakukan acara-acara yang membebankan demi mendapat pengampunan, kita lupa bahawa itulah keuntungan besar sebagai penganut Islam.

Terjemahan ayat 135-136 surah Ali-Imran sebagai berikut: Dan mereka yang apabila melakukan perbuatan keji dan menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah lalu memohon ampun dosa-dosa mereka, dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa yang telah dilakukan, sedangkan mereka mengetahui (salah dan akibatnya). Orang-orang yang begitu sifatnya, balasannya keampunan daripada Tuhan mereka dan syurga-syurga yang mengalir di bawahnya beberapa batang sungai, mereka kekal di dalamnya. Yang demikian itulah sebaik-baik balasan kepada yang beramal (melakukan kebaikan).

Jelasnya untuk mendapat keampunan dosa di sisi Tuhan, seseorang tidak perlu dipaksa mencederakan diri seperti dilukakan sehingga berdarah.  Allah tidak memerintahkan hamba-Nya menghukum diri dengan kesengsaraan mental dan fizikal untuk mendapat keredaan-Nya.  Malah Allah tidak pun mengarahkan seseorang mendedahkan kesalahan dosa kepada orang ramai.  Lihat maksud hadis riwayat Muslim: Sabda Rasulullah, ‘Sesiapa yang menutupi keburukan seseorang muslim lain, Allah menutupi aib atau malunya di dunia dan akhirat.’

Oleh itu, apabila mengetahui ada penganut agama lain yang terpaksa melakukan banyak perkara yang memeritkan diri (sekurang-kurangnya itulah anggapan biasa) semata-mata untuk membebaskan diri daripada dosa, maka sebagai muslim beruntung besarlah kerana hidup dalam Islam. Islam itulah agama yang sejahtera, yang sangat sesuai dengan kehendak hidup manusia, yang memberi ruang keampunan tanpa menunggu hari-hari tertentu!  Keampunan dosa dalam Islam juga terus dipohon kepada Allah, tidak melalui perantaraan sama  ada manusia (elit agama) atau material-meterial tertentu.

Maha suci Allah!

Selasa, Januari 18, 2011

TIDAK merokok dan berdebat, hasilnya apa?

APA hujah terbaik orang yang tidak merokok?  Kerap didengar dia berkata begini: “Duit rokok kau kalau dikumpul selama 30 tahun boleh buat rumah batu tau!” 

Kemudian apa alasan sesetengah pihak yang tidak mahu membincangkan masalah yang dikatakan remeh-temeh dalam bab ibadah.  Biasa kita akan mendengar begini: “Orang Yahudi dan Kristian sudah menguasai segala-gala bidang, kita umat Islam masih bercakap hal bid’ah atau sunah dalam ibadah.”


Mari kita selidik sedikit.  Kedua-dua kenyataan di atas hanyalah retorik, sebagai alasan mengatakan tidak berguna merokok dan mendebatkan hal ibadah.  Mudahnya, siapa yang sepanjang hayatnya tidak merokok telah mendisiplinkan dirinya mengumpul wang kos rokoknya dan menukarkan kos itu untuk membina sebuah banglo?. Orang yang tidak merokok pun sampai tua masih menyewa rumah orang.  Banyak perokok dan bukan perokok mempunyai kediaman yang sama juga!

Pihak yang mengatakan umat Islam mundur kerana mendebat bab sunah dan bid’ah dalam ibadah pun masih terkial-kial dalam pengetahuannya.  Sebenarnya tidak banyak pun debat dan muzakarah mengenai sesuatu ibadah itu sunah atau bid’ah.  Yang banyak melata ialah masyarakat menerima saja ajaran ustaz atau ulama.  Tidak berdebat bab sunah dan bid’ah pun, umat Islam masih lumpuh dan kalah berbanding puak Yahudi dan Nasrani!

Sebenarnya apa?  Cakap yang antirokok dan antisunah-bid’ah juga telah sentiasa kalah, lemah dan tidak punya apa-apa perancangan.  Konon, dengan membuat bandingan pihak lain hebat kerana tidak membincang hal kecil-kecil.

Maju mundurnya sesuatu bangsa tertegak atas prinsip jati dirinya, pegangannya terhadap ilmu.  Setakat orang Melayu sejak 30 tahun dan budaya hari ini, merokok atau tidak, dan debat sunah atau tidak, mundur saja.  Puncanya pemahaman agamanya sudah salah. Tapi begitulah, apabila didebat pemahaman salahnya terhadap Islam, dikatakan remeh-temeh.  Ditambah pula, ‘debat saja, orang lain sudah maju!’  Mereka sendirilah yang memundurkan masyarakat, tetapi tidak mahu berubah, bertambah buruk apabila memaksa pemikiran salahnya kepada generasi muda!

Maka pada saya, debatlah, debatlah…dengan debat kita mengasah pemikiran dan melemparkan yang salah dalam longkang.

Khamis, Januari 13, 2011

WUDUK secara sunah bukan hal remeh-temeh

ENTAH siapa yang memulakan pendapat agar jangan membawakan atau mengajarkan hal-hal yang dimaksudkan kecil atau remeh-temeh.  Di balik itu, gesaannya adalah supaya membawakan hal-hal yang besar dalam ajaran agama.


Maka apabila ada orang membawakan hadis agar berwuduk mencontohi wuduknya Rasulullah berpandukan hadis-hadis sahih, lalu dihimbau semula: Jangan suka meneliti hal-hal remeh-temeh.  Kalau cuba diteliti maksud mengusap kepala dalam ayat enam surah al-Ma’idah, itu cepat-cepat dimaksudkan membicarakan hal-hal kecil.  Jadi pada hemat orang seperti itu, soal hendak sapu dari dahi terus ke belakang kepala atau boleh saja dengan menyentuhkan tangan basah kepada tiga helai rambut, jangan diteliti mana satu yang mengikuti sunnah nabi. Kepada pihak ini cukuplah asal sudah berwuduk, ada sentuhan basah di kepala. Kepala bahagian mana jangan dipersoalkan!

Saya turunkan satu ayat daripada Nabi yang mengancam api neraka berkaitan kecuaian dalam berwuduk.  Dalam satu riwayat Imam Muslim, satu riwayat berbunyi ertinya: sebagian orang tergesa-gesa berwuuduk pada waktu asar.  Kami menemui mereka dalam keadaan tumit mereka masih ‘berkilau’ (masih kering) kerana tidak terkena air.  Maka baginda Rasulullah terus bersabda, ‘celakalah tumit-tumit yang tersentuh api neraka.  Sempurnakanlah wuduk-wuduk kalian.’

Dalam kitab fikah Mazhab Syafie oleh Dr Mustofa al-Khin, Dr Mustofa al-Bugho dan ali asy-Syarbaji Jilid 1 (muka surat 78) ada dicatat bagaimana Rasulullah berwuduk. Dahulu apabila saya membawakan hadis ini, terus ada tuduhan ini ajaran wahabi! Saya ulang, hadis ini ada dalam kitab mazhab Syafie, mazhab yang dipegang oleh muslim Nusantara.  Hadis ini juga diajarkan kepada bakal para hujaj oleh pegawai agama pilihan Lembaga Tabung Haji.  Malangnya pegawai-pegawai ini tidak menerima hadis ini sebagai pegangan dalam mazhab syafie, dikatakan pula pegangan mazhab Hanbali, pegangan orang Makkah.  Mereka mengajarkan kepada bakal hujaj di tanah air supaya berwuduk sebagaimana dalam hadis di bawah hanya di Makkah, dan kalau berwuduk secara nabi itu kalau tersentuh bukan sejenis (bukan mahram) tidak membatalkan wuduknya.  Saya masih menganggap ini salah satu ajaran tidak betul.

Imam Bukhari meriwayatkan daripada Usman Affan:  Beliau meminta air untuk berwuduk, lalu menuangkan air dari wadah tersebut untuk membasuh kedua-dua tangannya tiga kali. Kemudian beliau berkumur, memasukkan air  ke dalam hidung dan mengeluarkannya, kemudian membasuh mukanya tiga kali dan kedua-dua tangannya hingga ke siku tiga kali (menurut satu riwayat lain: kemudian beliau membasuh tangan kanannya tiga kali dan membasuh tangan kirinya tiga kali), kemudian beliau menyapu kepalanya, kemudian beliau membasuh kaki tiga kali (menurut riwayat lain beliau membasuh kaki kanannya tiga kali, kemudian membasuh kaki kirinya tiga kali), kemudian berkata: ‘sesiapa berwuduk seperti wuduk ini kemudian dia bersolat dua rakaat dalam keadaan dia tidak bercakap mengenai perkara duniawi di antara kedua-duanya (wuduk dan solat), maka Allah mengampunkan dosanya yang telah lalu.’

Menyapu kepala itu sekali dan seluruh kepala, bukan sebagian sebagaimana hadis ini.  Telah berkata Rubaiyi: Saya pernah melihat Rasulullah berwuduk, …….lalu beliau menyapu kepala sebelah hadapan dan sebelah belakang dan dua pelipisan atas dan dua telinga dengan sekali sapu.” (Riwayat Abu Dawud).

Rabu, Januari 05, 2011

AYUHLAH masuk Islam, lihat jaminannya!


TADI saya menghadap buku Ensiklopedia Larangan menurut al-Quran dan Sunnah berkaitan akidah.  Ada perkara yang jarang ditemukan dalam pembicaraan mengenai dosa dan pahala daripada orang yang dahulunya kafir, kemudian beriman kepada Allah dan rasul-Nya.  Hal ini menarik untuk diketahui kerana menjadi satu hujahan berguna untuk didakwahkan kepada bukan Islam dan menjadi penawar yang sangat indah kepada yang baru memeluk Islam.

Mudah bicaranya, katakan seorang memeluk Islam atau beriman kepada Allah, rasul-Nya dan hari akhirat pada usia 50 tahun.  Bagaimana kebaikan atau kebajikan dan dosa-dosa yang dilakukan sejak sekian lama sebelum beriman itu?

Maksud sabda Rasulullah, “Apabila seorang hamba masuk Islam dan baik keislamannya, mana Allah akan menulis baginya pahala atas setiap kebaikan yang dahulu ia kerjakan, dan dihapuskan setiap kesalahan yang pernah dilakukan.  Kemudian setelah perhitungan itu, setiap kebaikan dibalas 10 kali ganda sehingga 700 ganda lagi.  Adapun keburukan dibalas dengan keburukan yang setimpal, kecuali Allah mengampuninya.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia pernah bertanya kepada Rasulullah (maksudnya), “Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan amal-amal yang pernah kulakukan pada masa jahiliyah, sepertisedakah, pembebasan hamba dan menyambung silatur rahim. Apakah ada pahalanya?”
Dijawab oleh Rasulullah, “Engkau memperoleh pahala atas kebaikan yang pernah engkau lakukan dahulu sebelum masuk Islam.”

Bagaimana pula seseorang yang banyak amal kebajikan pada masa hayatnya, sedangkan sehingga akhirnya hayat beliau terus tidak beriman kepada Allah, rasul-Nya  dan hari kemudian?

Diriwayatkan daripada A’isyah r.a., beliau berkata, “wahai Rasulullah, Ibnu Jud’an dahulu pada masa jahiliyah suka menyambung silatur rahim dan memberi makan fakir miskin.  Apakah itu bermanfaat kepadanya?’
Dijawab oleh baginda Rasulullah, “Tidak, kerna dia sama sekali tidak pernah mengatakan: Ya Rabbi, ampunilah kesalahanku pada hari pembalasan.”  (Hadis riwayat Muslim)

Maka jelaslah bahawa Allah itu sangat pengampun dan penyayang terhadap hamba-Nya. Tiket utama untuk mendapat keampunan-Nya adalah dengan beriman,  percaya dan membuktikan percaya kepada Allah, rasul-Nya dan hari kemudian.


Selasa, Januari 04, 2011

TG Nik Aziz terus sebarkan tajdid


SEJAK akhbar Berita Harian menyiarkan berita TN Nik Aziz mengatakan boleh bersenamrobik dalam masjid, saya menunggu dua berita.

Pertama: Para penentang pemikiran TG Nik Aziz yang mudah menyerang pendapatnya sekalipun Menteri Besar Kelantan itu menggariskan pemikiran berlandaskan al-Quran dan Sunnah.  Nampaknya saya tidak menemui ulasan kontroversinya. Mungkin pemikiran Islam TG betul atau musuh-musuhnya sudah kepenatan hendak menyanggah hujahnya.

Kedua: Para pengekor pemikiran TG Nik Aziz yang akan menyalahkan akhbar Berita Harian dalam laporannya.  Umum tahu apabila sesuatu pendapat daripada pihak Menteri Besar itu menjadi bahan amukan musuh-musuh politiknya, para pengekornya akan segera berdalih bahawa akhbar Berita Harian adalah Berita Hairan! Senang cakap, mereka kata akhbar harian ini penipu. 

Saya menyokong pemikiran Islam TG Nik Aziz dalam hal bolehnya orang hendak bersenamrobik dalam masjid, maksudnya jika hendak dilakukan di ruang solat utama! Tidak ada perbedaan antara ruang solat utama dengan serambi-serambinya.  Itu istilah sahaja. 

Sebenarnya saya sedang menunggu TG Nik Aziz memecahkan lagi tembok karut yang besar, yang selama ini menjadi halangan dakwah terhadap bukan Islam.  Ya, kalau saya yang menyebutnya, tidak laku.

Bab anjing.  Selama ini orang Melayu sanggup ‘berani mati’ untuk menajiskan semua daripada anjing walaupun mereka tidak pun memberi hujah al-Quran dan Sunnah.  Semua hujah berdasarkan kata-kata ulama, dalam kitab-kitab sekian.  Memang ada hadis yang meminta disamak bejana atau besen basah yang dijilat anjing, tetapi tidak ada apa-apa hukum lagi yang jelas daripada al-Quran dan hadis sahih untuk kesan tapak anjing, sentuhan badan atau bulu sama ada kering atau basah!  Hahahaha, mesti ada yang meremang bulu roma membaca pemikiran saya.  Ya, anda Melayu!

Saya ada pengalaman memberi nasihat kepada seorang remaja yang terlalu sukar menjadi muslim kerana seolah-olah saban  hari terpaksa menyamak sebagian anggota dan pakaiannya.  Namun kerana kehendaknya mahu memeluk Islam, dia terima.  Setelah saya berikan hujah hanya satu bab saja yang perlu disamak, yang lain itu tiada, akhirnya dia berasa nyaman.  Malangnya dia ‘ditangkap’ oleh seorang ustaz Melayu dan kembali diajar ilmu fikah Melayu dalam bab anjing. Saya pula dipandang serong olehnya.

Setelah TG Nik Aziz memecah tembok yang selama ini orang bukan Islam dilarang aktif dalam masjid, saya sedang menunggu runtuhnya satu lagi tembok fikah Melayu yang menyebabkan Islam sangat jauh di sisi bukan Islam, bab sentuhan anjing!