KEPADA sebagian warga muslim Malaysia, Syiah belum
dianggap sebagai satu agama yang berbeda dengan Islam, malah mudah saja
mendengar bahawa Syiah hanyalah perbedaan mazhab sebagaimana adanya mazhab
Syafie dan Hanbali dalam hal-hal fikah. Mereka
tidak mendalami ilmu untuk akhirnya menemukan bahawa Syiah sudah terkeluar
habis daripada Islam dan bisa disebut satu agama lain.
Syiah adalah satu agama politik, sangat berasaskan
kepada hak-hak kekhalifahan setelah kewafatan Rasulullah, sehingga mereka
mengkafirkan sahabat-sahabat yang agung seperti Saidina Abu Bakr, Saidina Umar,
Saidina Usman, Muawiyah termasuk
Saidatina A’isyah. Malah mereka menuduh
Saidina Abu Bakr dan Saidina Umar
merancang pembunuhan puteri Rasulullah, Fatimah binti Muhammad
Rasulullah s.a.w. Didakwa pula A’isyah seorang penzina! Itu belum termasuk kaum Syiah mengatakan para
imam mereka (Imam 12) jauh lebih mulia berbanding para nabi. Hal ini disahkan oleh seorang jurucakap Syiah
Melayu dalam dialog antaranya dengan ustaz-ustaz yang dianjurkan oleh Jabatan
Agama Islam Negeri Perak, awal tahun 2012 ini.
Allah telah reda terhadap para sahabat sebagaimana
yang dirakam dalam ayat 18 surah al-Fath (maksudnya), “Sesungguhnya Allah
telah reda terhadap orang-orang mukmin yang ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka
dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat.” Ayat ini pengiktirafan kepada para sahabat
ketika mereka bersumpah setia kepada Rasulullah s.s.w. dalam Bait ar-Ridhwan
sebelum berlakunya Perjanjian Hudaibiyah.
Namun kaum Syiah telah terang-terang melawan firman Allah.
Nikah mut’ah adalah pernikahan yang ditentukan
bayarannya untuk satu-satu tempoh tertentu.
Sebagai contoh, Musavi bernikah dengan Hejayah untuk tempoh setahun
dengan bayaran RM1,000. Selepas tempoh
setahun, secara automatik pernikahan (perkahwinan) mereka batal dan tidak ada
apa-apa ikatan.
Berikut adalah kajian Syeikh Salim bin Ies
al-Halili dalam kitab “Mausu’ah al-Manahisy Syar’iyyah fi Syahihis Sunah
an-Nabawiyah” mengenai kebejatan akhlak kaum Syiah.
Nikah Mut’ah sudah diharamkan oleh Rasulullah
s.a.w. secara mutlak berdasarkan hadis berikut yang diriwayatkan oleh Ali bin
Abi Talib, bahawa Rasulullah melarang nikah Mut'ah pada perang Khaibar dan melarang
memakan daging keldai peliharaan. Diriwayatkan dari ar-Rabi' bin Sabrah
al-Juhani, dari ayahnya, bahwa Rasulullah
melarang nikah mut'ah. Rasulullah
bcrsabda (maksudnya), "Ketahuilah,
sesungguhnya nikah mut'ah itu haram mulai sekarang sampai hari Kiamat. Barangsiapa yang telah
memberikan sesuatu (yakni upah), maka janganlah ia mengambilnya kembali."'
Perhatikan bagaimana
pendirian kaum Syiah sehingga hari ini mengenai nikah mut’ah itu
Pertama: Mereka jadikan sebagai rukun iman, mereka menyebutkan bahawa Ja'far ash-Shadiq mengatakan: "Bukan
termasuk golongan kami orang yang tidak mengimani adanya raj'ah dan tidak
menghalalkan nikah mut'ah."
(Silakan lihat Man Laa Yahduruhu al-Faqih (11/148), Wasaail
Syiah (IV/438) dan Tafsir ash-Shaafi
(1/347).)
Kedua: Mereka beranggapan bahwa nikah mut'ah merupakan pengganti dari minuman
yang memabukkan. Mereka meriwayatkan dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja'far
bahwa ia berkata: "Sesungguhnya Allah telah menyayangi kamu dengan
menjadikan nikah mut'ah sebagai pengganti bagi kamu dari minuman keras."
(Ar-Raudhah minal Kaafi (halaman 151) dan Wasaail
Syi'ah (XIV/438).)
Ketiga: Dan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi pelakunya sehingga mereka
berkeyakinan bahwa barangsiapa yang melakukan nikah mut'ah empat kali, maka
derajatnya (kedudukannya) seperti Rasulullah. Lalu mereka menisbatkan kedustaan
ini kepada Rasulullah. Mereka menyebutkan riwayat palsu (Hadis palsu):
"Barangsiapa melakukan nikah mut'ah sekali maka derajatnya seperti derajatal-Husein-
Barangsiapa melakukan nikah mut'ah dua kali, maka derajatnya seperti derajat
al-Hasan. Barangsiapa melakukan nikah mut'ah tiga kali, maka derajatnya seperti
derajat 'Ali. Dan barangsiapa melakukan nikah mut'ah empat kali, maka derajatnya
seperti derajatku."
(Manhajus Shaadiqin tulisan Fathulllah
al-Kaasyaani, halaman 356.)
Diriwayatkan dari al-Hasan bin Zharif, ia berkata:
Aku menulis surat kepada Abu Muhammad "Aku telah meninggalkan nikah mut'ah selama tiga puluh
tahun kemudian bangkit lagi gairahku untuk melakukannya. Ada seorang wanita di
kampungku yang menurut kabarnya sangat cantik. Lalu hatiku tertarik kepadanya.
Kamun wanita itu seorang pelacur yang menerima pria-pria hidung belang. Maka
aku pun membencinya. Kemudian aku katakan: "Para imam mengatakan nikah
mut'ahlah dengan wanita pelacur karena engkau akan mengeluarkannya daripada
yang haram kepada yang halal."
Aku menulis surat kepada Abu Muhammad untuk meminta
pertimbangan kepadanya dalam masalah mut'ah ini, aku bertanya: "Bolchkah aku nikah
mut'ah setelah tahun-tahun ini?" Ia menulis surat jawaban: Sesungguhnya
engkau sedang menghidupkan Sunnah dan mematikan bid'ah. Engkau boleh
melakukannya."
(kitab Kasyful Gbummab, halaman 307)
Bahkan mereka membolehkan pinjam-meminjam faraj
(kemaluan wanita- maaf), wal iyaadzu billah. Hal ini disebutkan dalam
buku-buku pegangan mereka, antaranya adalah yang diriwayatkan dari al-Hasan
al-'Aththar, ia berkata: "Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah tentang pinjam
meminjam faraj (kemaluan wanita), ia menjawab: "Tidak mengapa (boleh
saja)." Aku bertanya lagi: "Bagaimana kalau hamil dan melahirkan
anak?" Ia bertanya: "Anak itu milik si peminjam kecuali bila ada perjanjian sebelumnya."
(Wasaail Syi'ah (VH7540), Furuu'al-Kaafi
(11/48), al-Istibshaar (IH/141) dan at-Tahdiib (11/185).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan