Pengikut

Rabu, Januari 28, 2009

NIAT baik dalam amal ibadah?

KERAP didengar orang melakukan penambahan amal (kerana tidak ada contoh daripada sunah) dengan mengatakan niat yang baik. Hal-hal yang dibuat adalah hal ibadah yang baik dan tujuannnya juga baik. Di bawah ini saya sertakan hujah seorang ulama mengenai niat baik para penambah urusan agama. Suntingan dilakukan untuk kemudahan pembaca blog ini. Moga bermanfaat.


BID’AH DAN NIAT BAIK
Oleh: Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari
Ketika sebagian orang melakukan bid’ah, mereka beralasan bahwa amal mereka dilakukan dengan niat yang baik, tidak bertujuan melawan syari’at, tidak mempunyai fikiran untuk membaikpulih agama, dan tidak terbersit dalam hati untuk melakukan bid’ah. Bahkan sebagian mereka berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat.” [Muttafaq Alaihi]

Untuk membentangkan sejauh mana kebenaran cara mereka berdalil dan beberapa alasan yang mereka kemukakan, kami kemukakan bahwa kewajiban seorang muslim yang ingin mengetahui kebenaran yang sampai kepadanya serta hendak mengamalkannya adalah tidak boleh menggunakan sebagian dalil hadits dengan meninggalkan sebagian yang lain. Tetapi yang wajib dia lakukan adalah memperhatikan semua dalil secara umum hingga hukumnya lebih dekat kepada kebenaran dan jauh dari kesalahan. Demikianlah yang harus dilakukan apabila dia termasuk orang yang mempunyai keahlian dalam menyimpulkan dalil.

Tetapi apabila orang awam atau pandai dalam keilmuan kontemporari yang bukan ilmu-ilmu syari’at, maka dia tidak boleh cuba-cuba memasuki kepadanya, seperti kata pepatah: “Ini bukan sarangmu maka berjalanlah kamu.”

Adapun yang benar dalam masalah yang penting ini, bahwa sabda nabi s.a.w. “Sesunnguhnya segala amal tergantung pada niat,” adalah sebagai penjelasan tentang salah satu dari dua dasar setiap amal, iaitu ikhlas dalam beramal dan jujur dalam batinnya sehingga yang selain Allah tidak merentas ke dalamnya.

Adapun dasar kedua adalah, bahwa setiap amal harus sesuai sunnah nabi s.a.w., seperti dijelaskan dalam hadits, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya daripada kami, maka amal itu tertolak”. Dan demikian itulah kebenaran yang dituntut setiap orang untuk merealisasikan dalam setiap pekerjaan dan ucapannya.

Atas dasar ini, maka kedua hadits yang agung tersebut adalah sebagai pedoman agama, baik yang pokok mahu pun cabang, juga yang lahir dan batin. Bahawa hadits: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” sebagai timbangan amal secara umum, sedangkan hadits “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada keterangannya dari kami maka dia tertolak” sebagai panduan khusus setiap amal.

Dengan demikian, maka kedua hadits tersebut memberikan pengertian, bahwa setiap amal yang benar apabila dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan mengikuti Rasulullah s.a.w., yang kedua-duanya merupakan syarat setiap ucapan dan amal yang lahir mahu pun batin.

Oleh karena itu, sesiapa yang ikhlas dalam setiap amalnya karena Allah dan sesuai sunnah Rasulullah s.a.w., maka amalnya diterima dan sesiapa yang tidak memenuhi dua hal tersebut atau salah satunya maka amalnya tertolak. [1]

Dan demikian itulah yang dinyatakan oleh Fudhail bin Iyadh ketika menafsirkan firman Allah: “Supaya Dia menguji kamu, siapa antara kamu yang lebih baik amalnya.”[2] Beliau berkata, ‘maksudnya dia ikhlas dan benar dalam melakukannya sebab amal yang dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima. Dan jika dia benar, tetapi tidak ikhlas maka amalnya juga tidak diterima. Justeru amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan karena Allah, sedang amal yang benar adalah bila dia sesuai dengan sunnah Rasulullah.” [3]

Al-Imam Ibnul Qayyim berkata [4], “Sebagian ulama salaf berkata: Tidaklah suatu pekerjaan meskipun kecil melainkan dibentangkan kepadanya dua catatan: Mengapa dan bagaimana? Hal ini bermaksud: mengapa kamu melakukan dan bagaimana kamu melakukannya?

Arti lain, pertanyaan pertama adalah: apakah kamu mengerjakan amal karena Allah, ataukah karena kepentingan hawa nafsu sendiri? Manakala pertanyaan kedua tentang mengikuti Rasulullah s.a.w. dalam pengabdian itu. Arti lain: apakah amal yang dikerjakan sesuai syari’at Allah yang disampaikan Rasul-Nya? Ataukah pekerjaan itu tidak disyari’atkan Allah dan tidak diredhai-Nya?

Pertanyaan pertama berkaitan dengan ikhlas ketika beramal, sedangkan yang kedua tentang mengikuti sunnah. Hal ini kerana Allah tidak akan menerima amal kecuali memenuhi kedua syarat tersebut. Oleh itu agar selamat daripada pertanyaan pertama hendaklah memurnikan keikhlasan. Sebaliknya agar selamat daripada pertanyaan kedua hendaklah mengikuti Rasulullah s.a.w. dalam mengerjakan setiap amal. Jadi amal yang diterima apabila hatinya selamat daripada keinginan yang berlawanan dengan ikhlas dan juga selamat daripada hawa nafsu yang kontradiksi dengan sunnah nabi.”

Ibnu Katsir dalam tafsirnya (I/231) berkata, “Sesungguhnya amal yang diterima harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah dan kedua benar serta sesuai syari’at. Jika dilakukan dengan ikhlas, tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima.”

Pernyataan itu dijelaskan oleh Ibnu Ajlan yang beliau berkata, “Amal tidak dikatakan baik kecuali dengan tiga kriteria: takwa kepada Allah, niat baik dan tepat (sesuai sunnah).” [5]
Kesimpulannya bahawa sabda nabi s.a.w., “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat” bermaksud bahwa segala amal dapat berhasil tergantung pada niatnya. Ini merupakan perintah untuk ikhlas dan mendatangkan niat dalam segala amal yang akan dilakukan oleh seseorang dengan sengaja, itulah yang menjadi sebab adanya amal dan pelaksanaannya. [6]

Atas dasar ini, maka seseorang tidak dibenarkan sama sekali menggunakan hadits tersebut sebagai dalil pembenaran amal yang batil dan bid’ah karena semata-mata niat baik orang yang melakukannya.

Dan penjelasan yang lain adalah, bahwa hadits tersebut sebagai dalil atas kebenaran amal dan keikhlasan ketika melakukannya, iaitu dengan pengertian “Sesungguhnya segala amal yang salih adalah dengan niat yang salih”. Pemahaman seperti ini sepenuhnya tepat dengan kaedah ilmiah dalam hal mengetahui ibadah dan hal-hal yang membatalkannya.

[Disalin dari kitab Ilmu Ushul Al-Fiqh Al-Bida’ Dirasah Taklimiyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah, penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari. Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar]

Foote Note :
[1]. Bahjah Qulub Al-Abrar : 10 Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
[2]. Al-Mulk : 2
[3]. Hilyatu Auliya : VIII/95, Abu Nu’aim. Dan lihat Tafsir Al-Baghawi V/419, Jami’ul Al-Ulum wal Hikam : 10 dan Madarij As-Salikin I/83
[4]. Mawarid Al-Aman Al-Muntaqa min Ighatshah Al-Lahfan : 35
[5]. Jami Al-Ulum wal Hikam : 10
[6]. Lihat Fathul bari : I/13 dan Umdah Al-Qari : I/25

Tiada ulasan:

Catat Ulasan