Pengikut

Isnin, Mei 09, 2011

FIR'AUN orang pertama tidak percaya Allah di langit


Oleh: Muhammad asrie Sobri, Jabatan Mufti Perlis

ALLAH berfirman dalam al-Quran surah Ghafir ayat 36-37:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا وَكَذَلِكَ زُيِّنَ لِفِرْعَوْنَ سُوءُ عَمَلِهِ وَصُدَّ عَنِ السَّبِيلِ وَمَا كَيْدُ فِرْعَوْنَ إِلَّا فِي تَبَابٍ (37)
Maksudnya: Dan Firaun pula berkata: Hai Haman! Binalah untukku sebuah bangunan yang tinggi, semoga aku sampai ke jalan-jalan (yang aku hendak menujunya) (Iaitu) ke pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku percaya Musa itu seorang pendusta! Demikianlah diperhiaskan (oleh Syaitan) kepada Firaun akan perbuatannya yang buruk itu untuk dipandang baik, serta dia dihalangi dari jalan yang benar dan tipu daya Firaun itu tidak membawanya melainkan ke dalam kerugian dan kebinasaan.

Persoalan:
Kenapakah Fir'aun –Laknat ALLAH atasnya- hendak membina bangunan tinggi supaya dia boleh mencapai pintu-pintu langit sambil mendakwa Musa a.s berdusta? Apakah perkara yang Fir'aun tuduh Musa a.s berdusta akannya sehingga Fir'aun perlu naik ke langit untuk membuktikan kepada kaumnya yang Musa a.s berdusta? Apakah yang Musa a.s beritahu kepada Fir'aun sehingga dia begitu berang dan mendakwa Musa a.s dusta dan dia perlu naik ke langit untuk mempercayai kata-kata Musa a.s itu?
Jawab Imam Ahli Tafsir, Imam Al-Tabari (rh) [w.310 H]:
وقوله: (وَإِنِّي لأظُنُّهُ كَاذِبًا) يقول: وإني لأظنّ موسى كاذبا فيما يقول ويدّعي من أن له في السماء ربا أرسله إلينا.
Maksudnya: "dan firman-Nya (berkenaan kata-kata Fir'aun): " dan sesungguhnya aku percaya Musa itu seorang pendusta!", maksud katanya (Fir'aun) adalah: "dan sesungguhnya aku percaya Musa ini pendusta dalam apa yang dia katakana dan dakwakan BAHAWA DIA MEMPUNYAI TUHAN DI LANGIT YANG MENGUTUSNYA"
[Rujuk: Tafsir al-Tabari, juz 21 m.s 387, Tahqiq: Ahmad Syakir, cet Muassasah al-Risalah, cet Pertama, lihat juga: Tafsir ayat 38 Surah al-Qasas].

Kata Imam Abul Hasan al-Asy'ari (rh) [w.324 H] dalam kitab beliau, al-Ibanah:
كذب موسى عليه السلام في قوله: إن الله سبحانه فوق السماوات
Maksudnya: "Dia (Fir'aun) mendustakan Musa a.s berkenaan perkataan baginda: Bahawa ALLAH s.wt berada di atas langit".

Maka sejarah mencatatkan bahawa, makhluk pertama yang ingkar keberadaan ALLAH di atas Arasy di atas langit ketujuh adalah: Fir'aun –Laknat ALLAH atasnya-

Kata al-Imam Ibn al-Qayyim (rh) dalam Nuniah beliau:
فإمام كل معطل في نفسه ... فرعون مع نمرود مع هامان
Maksudnya: "Maka Imam setiap Mu'attil itu pada dirinya adalah Fir'aun bersama Namrud dan juga Haman"

Oleh itu, ketahuilah wahai setiap muslim dan muslimah, Tuhan kamu; ALLAH itu Maha Tinggi, Tinggi pada Kemuliaan-Nya, Kekuasaan-Nya, dan ZAT-NYA kerana Dia meninggi di atas Arasy di atas langit ketujuh dengan ketinggian yang layak bagi zat-Nya tidak menyamai Makhluk sedikit pun .


8 ulasan:

  1. “Dalam Kitab al-Fiqh al-Absath Imam Abu Hanifah, bahwa ia (Imam Abu Hanifah) berkata: Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu”. Dialah yang mengadakan/menciptakan segala sesuatu dari tidak ada, oleh karenanya maka tempat dan arah itu bukan sesuatu yang qadim (artinya keduanya adalah makhluk/ciptaan Allah). Dalam catatan Imam Abu Hanifah ini terdapat pemahaman2 penting:
    1. Terdapat argumen bahwa seandainya Allah berada pada tempat dan arah maka berarti tempat dan arah tersebut adalah sesuatu yang qadim (tidak memiliki permulaan), juga berarti bahwa Allah adalah benda (memiliki bentuk dan ukuran). Karena pengertian “tempat” adalah sesuatu/ruang kosong yang diwadahi oleh benda, dan pengertian “arah” adalah puncak/akhir penghabisan dari tujuan suatu isyarat dan tujuan dari sesuatu yang bergerak. Dengan demikian maka arah dan tempat ini hanya berlaku bagi sesuatu yang merupakan benda dan yang memiliki bentuk dan ukuran saja; dan ini adalah perkara mustahil atas Allah (artinya Allah bukan benda) sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan yang lalu. Oleh karena itulah beliau (Imam Abu Hanifah berkata: “Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum menciptakan segala makhluk, Dia ada sebelum ada tempat, sebelum segala ciptaan, sebelum segala sesuatu sesuatu”.
    Sementara apa yang disangkakan oleh Ibn Taimiyah bahwa arsy adalah sesuatu yang qadim (tidak bermula) adalah pendapat SESAT, sebagaimana kesesatan ini telah dijelaskan dalam Kitab Syarh al-Aqa’id al-’Adludliyyah.
    2. Sebagai jawaban bahwa Allah tidak dikatakan di dalam alam adalah oleh karena mutahil Allah berada di dalam susuatu yang notabene makhluk-Nya. Dan bahwa Allah tidak dikatakan di luar alam adalah oleh karena Allah ada (tanpa permulaan) sebelum adanya segala makhluk, dan Dia ada sebelum adanya segala tempat dan arah. Karena itulah beliau (Imam Abu Hanifah berkata: “Dia (Allah) adalah Pencipta segala sesuatu”.

    Keterangan:
    Sila rujuk kitab ini berjudul Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam adalah karya Imam al-Bayyadli. Isinya adalah penjelasan aqidah yang diyakini oleh Imam Abu Hanifah sesuai risalah2 yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah sendiri.

    BalasPadam
  2. II. Hujjah Imam Hanafi dalam Kitab Alwasiat) Kalahkan Aqidah sesat salafy / wahaby
    Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab wasiat yang ditulis Imam Hanifah, sepertimana yang telah di scandiatas, baca yang di line merah) :

    “ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat beliau.

    Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.
    Kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptakan semua makhluq (sebelum diciptakan tempat, arah, arsy, langit dan smua makhluq = zaman azali) dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”
    Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata:
    “Allah ta’ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala
    sesuatu”. Al Imam Fakhruddin ibn ‘Asakir (W. 620 H) dalam risalah aqidahnya mengatakan : “Allah ada sebelum ciptaan, tidak ada bagi- Nya sebelum dan sesudah, atas dan bawah, kanan dan kiri, depan dan
    belakang, keseluruhan dan bagian-bagian, tidak boleh dikatakan”Kapan ada-Nya ?”, “Di mana Dia ?” atau “Bagaimana Dia ?”, Dia ada tanpa tempat”.
    Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya
    tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah.
    Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam
    Maknanya: “Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah alBathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu”
    (H.R. Muslim dan lainnya).
    Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”.

    BalasPadam
  3. III. Ibnu katsir membungkam wahhaby (2) : Tafsir ayat “istiwa”
    Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimah(yang megatakan bahwa Allah SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya).Atau akan terjerumus dalam ta’thil (yang menolak sifat-sifat Allah SWT ).Begitu penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat .
    Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini :
    Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT. Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunkan methode ini.
    Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain. Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari Alquran dan hadits.
    Perhatian
    1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang di ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil oleh ulama kholaf saja.
    2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama terdahulu(salaf) dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena telah mentakwili ayat-ayat sifat ini.maka kelompok yang membid’ahkan ulama terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti bagaimana mentakwil dan mereka uga tidak kenal dengan benar dengan ulama terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang dating dari para salaf..
    3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka sadari.misalnya disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘ars ,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini di ta’wili.akan tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah di ars dengan penjelasan bahwa ars adlah makhluq terbesar(seperti bola dan semua mkhluk yang lain di dalamnya.kemudian mereka mengatakkan dan Allah swt berada di atas Arsy nag besar itu di tempat yang namany makan ‘adami(tempat yang tidak ada).Lihat dari mana mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’id(takwil salah mereka yang jauh dari kebenaran.
    Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu.wallhu a’lam bishshowab

    BalasPadam
  4. A. Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA
    I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
    lihat dalam tafsir berikut :
    1. Tafsir Ibnu katsir menolak makna dhahir (lihat surat al -a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295)
    Tarjamahannya :
    {kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang memerincikan makna (membuka/menjelaskannya) (lafadz istiwa) dan sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan salafushalih, imam malik, imam auza’I dan imam atsuri, allaits bin sa’ad dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz (istawa) tidak ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif (memerincikan bagaimananya) dan tanpa tasybih (penyerupaan dgn makhluq) dan tanpa ta’thil(menafikan) dan (memaknai lafadz istiwa dengan) makna dhahir yang difahami (menjerumuskan) kepada pemahaman golongan musyabih yang menafikan dari (sifat Allah) yaitu Allah tidak serupa dengan makhluqnya…”

    Wahai mujasimmah wahhaby!!
    lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!
    bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!!

    Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :
    ““Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat muhkamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan (pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”
    Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :
    - Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan ayat syarif (ayat muhkamat) atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata!
    - ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.
    - disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya tidak melarang ta’wil.
    “…dan selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”
    Sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!

    BalasPadam
  5. 2. Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:
    1- Tafsir al Qurtubi
    (ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan
    2- Tafsir al-Jalalain
    (ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya
    3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:
    makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain…
    4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):
    (ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf, sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi
    Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.

    BalasPadam
  6. II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf
    Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:
    1-masak (boleh di makan) contoh:
    قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah epal telah masak
    2- التمام: sempurna, lengkap
    3- الاعتدال : lurus
    4- جلس: duduk / bersemayam,
    contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil
    5- استولى : menguasai,
    contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق
    Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.
    Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?
    sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):
    ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر
    Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:
    ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته
    Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.
    Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.

    BalasPadam
  7. IV. Hujjah Imam Adzahaby Kalahkan Aqidah sesat salafy / wahaby

    *Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair.Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” :Nama kitab: Al-Kabair.
    Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
    Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama 1410h.Terjemahan.
    Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi:
    “Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142.
    Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
    Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.
    Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
    “Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).
    Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan : “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”.
    As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk
    Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata:
    “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,
    kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
    Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).

    BalasPadam
  8. tidak ada orang yg beriman akan mengatakan Allah seperti makhluk sekalipun Dia memperkenalkan diri-Nya begitu-begitu, seumpama makhluk. Akibat manusia yang berfikir jauh mengenai zat Allah, maka timbullah pelbagai persoalan zat Allah yang dianggap sama seperti makhluk. Siapa yg suruh berfikir2 begitu? Kalau Allah sudah menyatakan Dia beristiwa di arasy terima sajalah tanpa memikir itu umpama makhluk.

    Sebaik-baik penjelas hal umum dalam alquran ialah baginda nabi. pasti tuan tidak lupa mengenai dialog antara nabi dengan seorang budak/hamba perempuan. Nabi sendiri mengesahkan Allah di langit. Kalau ada argumen baru mengenai langit di apa dan sebagainya, itu terserah. fikiran begitu tidak akan ada habisnya.

    Jangan mudah pula menuduh sesat akidah kepada yg terus mengikuti cara nabi dalam memahami sifat Allah.

    BalasPadam