Pengikut

Selasa, Disember 08, 2009

HUKUM tahlilan arwah


Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

"Artinya : Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : " Kami (yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap"


TAKHRIJ HADITS

Hadits ini atau atsar di atas dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (No. 1612 dan ini adalah lafadzhnya) dan Imam Ahmad di musnadnya (2/204 dan riwayat yang kedua bersama tambahannya keduanya adalah dari riwayat beliau), dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim dari Jarir sebagaimana tersebut di atas.

Saya berkata : Sanad Hadits ini shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqat (dapat dipercaya ) atas syarat Bukhari dan Muslim.

Dan hadits atau atsar ini telah dishahihkan oleh jama’ah para Ulama yakni para Ulama Islam telah ijma/sepakat tentang hadits atau atsar di atas dalam beberapa hal.

Pertama : Mereka ijma' atas keshahihan hadits tersebut dan tidak ada seorang pun Ulama -sepanjang yang diketahui penulis- wallahu a’lam yang mendloifkan hadits ini. Dan ini disebabkan seluruh rawi yang ada di sanad hadits ini –sebagaimana saya katakan dimuka- tsiqoh dan termasuk rawi-rawi yang dipakai oleh Imam Bukhari dan Muslim.

Kedua : Mereka ijma' dalam menerima hadits atau atsar dari ijma' para shahabat yang diterangkan oleh Jarir bin Abdullah. Yakni tidak ada seorangpun Ulama yang menolak atsar ini. Yang saya maksud dengan penerimaan (qobul) para Ulama ini ialah mereka menetapkan adanya ijma’ para shahabat dalam masalah ini dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang menyalahinya.

Ketiga : Mereka ijma' dalam mengamalkan hadits atau atsar diatas. Mereka dari zaman shahabat sampai zaman kita sekarang ini senantiasa melarang dan mengharamkan apa yang telah di ijma'kan oleh para shahabat yaitu berkumpul-kumpul ditempat atau rumah ahli mayit yang biasa kita kenal di negeri kita ini dengan nama " Selamatan Kematian atau Tahlilan".

LUGHOTUL HADITS

[1]. Kunnaa na’uddu/Kunna naroo = Kami memandang/menganggap.
Maknanya : Menurut madzhab kami para shahabat semuanya bahwa berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan termasuk dari bagian meratap.

Ini menunjukkan telah terjadi ijma’/kesepakatan para shahabat dalam masalah ini. Sedangkan ijma’ para shahabat menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan Sunnah dengan kesepakatan para Ulama Islam seluruhnya.

[2]. Al-ijtimaa’a ila ahlil mayyiti wa shon’atath-tho’ami = Berkumpul-kumpul di tempat atau di rumah ahli mayit dan membuatkan makanan yang kemudian mereka makan bersama-sama

[3]. Ba’da dafnihi = Sesudah mayit itu ditanam/dikubur. Lafadz ini adalah tambahan dari riwayat Imam Ahmad.

Keterangan di atas tidak menunjukkan bolehnya makan-makan di rumah ahli mayit “sebelum dikubur”!?. Akan tetapi yang dimaksud ialah ingin menjelaskan kebiasaan yang terjadi mereka makan-makan di rumah ahli mayit sesudah mayit itu dikubur.

[4]. Minan niyaahati = Termasuk dari meratapi mayit
Ini menunjukkan bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit atau yang kita kenal di sini dengan nama “selamatan kematian/tahlilan” adalah hukumnya haram berdasarkan madzhab dan ijma’ para sahabat karena mereka telah memasukkan ke dalam bagian meratap sedangkan merapat adalah dosa besar.

SYARAH HADITS

Hadits ini atau atsar di atas memberikan hukum dan pelajaran yang tinggi kepada kita bahwa : Berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ (ini yang biasa terjadi) termasuk bid’ah munkar (haram hukumnya). Dan akan bertambah lagi bid’ahnya apabila di situ diadakan upacara yang biasa kita kenal di sini dengan nama “selamatan kematian/tahlilan pada hari pertama dan seterusnya”.

Hukum diatas berdasarkan ijma’ para shahabat yang telah memasukkan perbuatan tersebut kedalam bagian meratap. Sedangkan meratapi mayit hukumnya haram (dosa) bahkan dosa besar dan termasuk salah satu adat jahiliyyah.

FATWA PARA ULAMA ISLAM DAN IJMA’ MEREKA DALAM MASALAH INI

Apabil para shahabat telah ijma’ tentang sesuatu masalah seperti masalah yang sedang kita bahas ini, maka para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in dan termasuk di dalamnya Imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’iy dan Ahmad) dan seluruh Ulama Islam dari zaman ke zamanpun mengikuti ijma’nya para sahabat yaitu berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan makan-makan di situ adalah haram dan termasuk dari adat/kebiasaan jahiliyyah.

Oleh karena itu, agar supaya para pembaca yang terhormat mengetahui atas dasar ilmu dan hujjah yang kuat, maka di bawah ini saya turunkan sejumlah fatwa para Ulama Islam dan Ijma’ mereka dalam masalah “selamatan kematian”.

[1]. Telah berkata Imamnya para Ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela Sunnah. Al-Imam Asy-Syafi’iy di ktabnya ‘Al-Um” (I/318).
“Aku benci al ma'tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan"[1]



Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita'wil atau ditafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa beliau dengan tegas mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?"

[2]. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah, di kitabnya Al Mughni (Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) :
“Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah kesusahan diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka [2] dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah.

Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya,.Apakah mayit kamu diratapi ?" Jawab Jarir, " Tidak !" Umar bertanya lagi, " Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, " Ya !" Berkata Umar, " Itulah ratapan !"


[3]. Telah berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, di kitabnya : Fathurrabbani tartib musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) :
"Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya (yakni berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram.
Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alasan ta'ziyah /melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini.

Telah berkata An Nawawi rahimahullah : Adapun duduk-duduk (dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta'ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi'i dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya (perbuatan tersebut)........

Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, " Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab : “Dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit ) dengan alasan untuk ta'ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats (hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah " Bid'ah."

Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna di akhir syarahnya atas hadits Jarir menegaskan, “Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan orang sekarang ini yaitu berkumpul-kupmul (di tempat ahli mayit) dengan alasan ta’ziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan, memasang tenda dan permadani dan lain-lain dari pemborosan harta yang banyak dalam seluruh urusan yang bid’ah ini mereka tidak maksudkan kecuali untuk bermegah-megah dan pamer supaya orang-orang memujinya bahwa si fulan telah mengerjakan ini dan itu dan menginfakkan hartanya untuk tahlilan bapak-nya. Semuanya itu adalah HARAM menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Salafush shalih dari para shahabat dan tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun juga dari Imam-imam Agama (kita). Kita mohon kepada Allah keselamatan !”
[4]. Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu' Syarah Muhadzdzab (5/319-320)
telah menjelaskan tentang bid'ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy -Syaamil dan lain-lain Ulama dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih. Dan hal inipun beliau tegaskan di kitab beliau “Raudlotuth Tholibin (2/145).

[5]. Telah berkata Al Imam Asy Syairoziy, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu' Syarah Muhadzdzab :
"Tidak disukai /dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit) dengan alasan untuk Ta'ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah " Bid'ah ".

Dan Imam Nawawi menyetujuinya bahwa perbatan tersebut bid’ah. [Baca ; Al-Majmu’ syarah muhadzdzab juz. 5 halaman 305-306]

[6]. Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, di kitabnya Fathul Qadir (2/142)
dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah " Bid'ah Yang Jelek". Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang beliau katakan shahih.

[7]. Al Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma'aad (I/527-528)
menegaskan bahwa berkumpul-kumpul (dirumah ahli mayit) dengan alasan untuk ta'ziyah dan membacakan Qur'an untuk mayit adalah " Bid'ah " yang tidak ada petunjuknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

[8]. Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut Menyalahi Sunnah.

[9]. Berkata penulis kitab ‘Al-Fiqhul Islamiy” (2/549) :
“Adapaun ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak maka hal tersebut dibenci dan Bid’ah yang tidak ada asalnya. Karena akan menambah musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai (tasyabbuh) perbuatan orang-orang jahiliyyah”.

[10]. Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab :
" Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para penta'ziyah." [Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139]

[11]. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
" Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para penta'ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain." [Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal.93]

[12]. Berkata Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi'i ( I/79), " Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit."

KESIMPULAN.
Pertama : Bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya adalah BID'AH dengan kesepakatan para Shahabat dan seluruh imam dan ulama' termasuk didalamnya imam empat.

Kedua : Akan bertambah bid'ahnya apabila ahli mayit membuatkan makanan untuk para penta'ziyah.

Ketiga : Akan lebih bertambah lagi bid'ahnya apabila disitu diadakan tahlilan pada hari pertama dan seterusnya.

Keempat : Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut SUNNAH NABI Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum kerabat /sanak famili dan para jiran/tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari semalam. Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Ja'far bin Abi Thalib wafat.
"Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far ! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka (yakni musibah kematian)." [Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi'i ( I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)]


Hal inilah yang disukai oleh para ulama kita seperti Syafi’iy dan lain-lain (bacalah keterangan mereka di kitab-kitab yang kami turunkan di atas).

Berkata Imam Syafi’iy : “Aku menyukai bagi para tetangga mayit dan sanak familinya membuat makanan untuk ahli mayit pada hari kematiannya dan malam harinya yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, karena sesungguhnya yang demikian adalah (mengikuti) SUNNAH (Nabi).... “ [Al-Um I/317]

Kemudian beliau membawakan hadits Ja’far di atas.

[Disalin dari buku Hukum Tahlilan (Selamatan Kematian) Menurut Empat Madzhab dan Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Imam Syafi’iy, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat (Abu Unaisah), Penerbit Tasjilat Al-Ikhlas, Cetakan Pertama 1422/2001M]
__________
Foote Note
[1]. Ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi'i menerangkan menurut kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak ! Perkataan Imam Syafi'i diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah.
[2]. Perkataan ini seperti di atas yaitu menuruti kebiasaannya selamatan kematian itu menyusahkan dan menyibukkan. Tidak berarti boleh apabila tidak menyusahkan dan tidak menyibukkan ! Ambillah connoth firman Allah did alam surat An-Nur ayat 33 :”Janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi”. Apakah boleh kita menyuruh budak perempuan kita untuk melacur apabila mereka menginginkannya?! Tentu tidak!

21 ulasan:

  1. assalamualaikum.
    gi mana pula bila diadakan tahlilan dan jamuannya di surau/masjidnya. beralih tempatnya.

    BalasPadam
  2. kembali pada contoh zaman rasul, oleh kerana tiada amalan tahlilan pada zaman baginda maka orang yang mahu menuruti sunah akan meninggalkannya. Kepada yang sudah terbiasa dengan tahlilan akan berhujah seadanya. Oleh itu timbullah kontroversi.

    Kepada yg mahu menuruti perjalanan sunah, tidak timbul sama ada tahlilan itu di masjidkah, rumahkah atau kuburan. Jika tiada contoh, kira tak adalah.

    Harap jika berselisih pendapat, tidaklah sampai berpecah belah. Biarkan umah mendapat sebanyak mungkin dan seadil-adilnya informasi tentang suatu amalan. Tuhan memberi akal untuk menilai kuat dan rapuhnya hujah mana-mana pihak.

    BalasPadam
  3. Assalamu'alaikum Wr. Wb. http://www.kangmahfudz.co.cc/2010/11/acara-mitung-ndino-tradisi-para-sahabat.html

    BalasPadam
  4. Tradisi Tahlilan dan Analisis Argumentasi
    Kata “tahlilan” merupakan bentuk masdar dari fi’il madli “hallala” yang berarti mengucapkan لااله الاالله . Dari sisi istilah, kata tahlilan bisa jadi didefinisikan dan digambarkan dengan sebuah bentuk ritual keagamaan yang berbentuk majlis dzikir dengan menggunakan bacaan-bacaan dzikir tertentu dan menghadiahkan pahalanya untuk si mayit. Biasanya majlis dzikir ini diadakan pada waktu malam jum’at atau malam setelah kematian seseorang, atau juga bisa dilaksanakan pada saat haul atau yang lain. Yang jelas, bila ritual ini harus dilaksanakan dan modelnya bagaimana tidak ada aturan dan ketentuan yang pasti. Bisa jadi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki teknik dan kaifiyah yang berbeda.
    Biasanya sebab dan alasan kenapa tahlilan harus di tolak oleh para penentangnya bermuara pada argumentasi sebagai berikut :
    •Tahlilan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW, oleh itu demikian dianggap bid’ah.
    •Tahlilan merupakan budaya masyarakat Hindu, karena demikian dianggap tasyabbuh bi al-kuffar
    •Tahlilan dianggap merepotkan dan memberatkan keluarga mayat, karena di dalam tahlilan pasti selalu ada jamuan
    •Berkumpul untuk melakukan tahlilan pada saat setelah kematian dianggap “niyahah” (meratap)
    •Di dalam tahlilan pasti ada unsur tawasul.
    Argumentasi-argumentasi para penentang di atas adalah argumentasi klasik yang sudah ditanggapi berkali-kali. Akan tetapi, karena sejak awal bersikap tazkiyat al-nafsi (menganggap dirinya yang paling benar), maka penjelasan yang diberikan tidak berdampak dan berpengaruh sama sekali. Namun demikian, dalam kesempatan ini akan kita jelaskan sekali lagi mengenai kesalah-pahaman mereka yang dituduhkan kepada kita.
    •Tahlilan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW, karena demikian dianggap bid’ah.
    Memang harus diakui bahwa kata “tahlilan” sebagai sebuah bentuk tradisi seperti yang kita pahami sekarang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, akan tetapi perlu diingat bahwa substansi tahlilan adalah dzikir berjamaah dan berdoa untuk si mayit. Dzikir berjamaah dan berdoa untuk si mayit yang muslim supaya mendapatkan pengampunan dari Allah -tidak diragukan lagi- terlalu banyak penjelasannya di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, diantaranya adalah :
    oDari al-Qur’an Surat al-Hasyr : 10
    “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”

    BalasPadam
  5. Surat Muhammad : 19
    “Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal”.
    oDari al-Hadits
    •وعن أبي سعيد الخدري وأبي هريرة رضي الله عنهما قالا: قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم «لا يقعد قوم يذكرون الله عز وجل إلا حفتهم الملائكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده»
    Dari Abu Hurairah ra. dari Abu Sa’id ra., keduanya berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada disisi-Nya”.
    •وَمِنْ حَدِيث مُعَاوِيَة رَفَعَهُ أَنَّهُ قَالَ لِجَمَاعَةٍ جَلَسُوا يَذْكُرُونَ اللَّه تَعَالَى ” أَتَانِي جِبْرِيل فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّه يُبَاهِي بِكُمْ الْمَلَائِكَة ” .
    ” Dari hadits Mu’awiyah yang dihukumi marfu’, dia berkata “Nabi bersabda untuk para jama’ah yang duduk berdzikir kepada Allah: ” malaikat Jibril datang kepadaku dan menginformasikan bahwa Allah membanggakan kamu kepada malaikat”
    oDari Logika
    إن الجماعة قوة قال الله تعالى واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا والحجارة لا يستطيع كسرها إلا الجماعة وقد شبه الله تعالى القلوب القاسية بالحجارة في شدة قساوتها فقال عز من قائل ثم قست قلوبكم من بعد ذلك فهي كالحجارة أو أشد قسوة فكما أن الحجارة لا يستطيع كسرها إلا الجماعة فكذلك القلب القاسي يسهل تليينه إذا تساعدت عليه جماعة الذاكرين. (الموسوعة اليوسفية )
    Dari uraian dan argumentasi di atas dapat dipastikan bahwa substansi tahlilan memiliki sandaran dalil, baik naqliy (al-qur’an dan al-hadits), maupun aqliy.
    •Tahlilan merupakan budaya masyarakat Hindu, karena demikian dianggap tasyabbuh bi al-kuffar.
    Untuk menyimpulkan apakah di dalam tradisi tahlilan terdapat unsur tasyabbuh bi al-kuffar atau tidak, terlebih dahulu kita harus melakukan penelitian secara seksama. Mungkin saja memang ada tradisi kumpul-kumpul di dalam agama lain pada 1,2,3…..,7…,40 hari dan seterusnya setelah hari kematian seseorang. Tampaknya pada titik inilah tradisi tahlilan dianggap tasyabbuh bi al-kuffar. Namun demikian perlu diperhatikan beberapa hal, diantaranya:
    o Harus dipahami bahwa permasalahan ini termasuk dalam wilayah I’tiqadi. Karena demikian, harus ditegaskan bahwa tidak ada keyakinan sama sekali di dalam hati warga nahdliyin bahwa tahlilan pada hari pertama kematian, hari kedua, ketiga dan seterusnya merupakan sebuah kewajiban, juga tidak ada keyakinan bahwa berdo’a kepada si mayit pada hari pertama, kedua, ketiga dan seterusnya lebih afdlal dibandingkan dengan hari-hari yang lain. Tahlilan yang substansinya adalah berdoa untuk si mayit agar mendapatkan pengampunan dari Allah boleh dilakukan pada bila-bila masa sahaja, atau bahkan boleh tidak dilakukan, meskipun biasanya kegiatan tahlilan ini dilaksanakan pada hari pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.

    BalasPadam
  6. Tasyabbuh boleh ditujukan kepada warga nahdliyin ketika meyikini bahwa tahlilan wajib dilaksanakan pada hari-hari dimaksud dan juga meyakini bahwa hari-hari dimaksud lebih afdlal dibandingkan hari lainnya. Jadi, penentuan hari dan seterusnya tidak lebih dari sebuah tradisi yang boleh dilakukan dan juga boleh ditinggalkan, berbeda dengan apa yang diyakini oleh umat Hindu. Tradisi ini sama persis dengan dengan tradisi memperingati hari-hari besar dalam Islam (Nuzulul qur’an, halal bi halal, maulid nabi, isra’-mi’raj dan lain sebagainya) yang boleh dilakukan kapan saja, tidak terbatas pada tanggal-tanggal tertentu. Peringatan hari besar yang biasanya diisi taushiah dan dzikir hanyalah merupakan tradisi yang boleh dikerjakan dan juga boleh ditinggalkan.
    o Bahwa sikap warga nahdliyin sebagaimana di atas dapat dilihat dari kitab yang biasa dijadikan sebagai rujukan oleh mereka, diantaranya di dalam kitab al-fatawa al-fiqhiyah al-kubro yang berbunyi :

    o ( وَسُئِلَ ) أَعَادَ اللَّهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنْ النَّعَمِ وَيُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إلَى الْمَقْبَرَةِ وَيُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِينَ فَقَطْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ ثَالِثِ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ وَإِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَغَيْرِهِمْ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَعَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ تَمَامِ الشَّهْرِ مِنْ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوتِ النِّسَاءِ اللَّاتِي حَضَرْنَ الْجِنَازَةَ وَلَمْ يَقْصِدُوا بِذَلِكَ إلَّا مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبَلَدِ حَتَّى إنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوتًا عِنْدَهُمْ خَسِيسًا لَا يَعْبَئُونَ بِهِ وَهَلْ إذَا قَصَدُوا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَالتَّصَدُّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَاذَا يَكُونُ الْحُكْمُ جَوَازٌ وَغَيْرُهُ وَهَلْ يُوَزَّعُ مَا صُرِفَ عَلَى أَنْصِبَاءِ الْوَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التَّرِكَةِ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَعَنْ الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ إلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ .( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ جَمِيعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنْ الْبِدَعِ الْمَذْمُومَةِ لَكِنْ لَا حُرْمَةَ فِيهِ إلَّا إنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْ رِثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفْعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَخَوْضِهِمْ فِي عِرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ يُرْجَى أَنْ يُكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مِنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلَاةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَعَلَّلُوهُ بِصَوْنِ عِرْضِهِ عَنْ خَوْضِ النَّاسِ فِيهِ لَوْ انْصَرَفَ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنْ التَّرِكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيهَا مَحْجُورٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوا كُلُّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ بَلْ مَنْ فَعَلَهُ مِنْ مَالِهِ لَمْ يَرْجِعْ بِهِ عَلَى غَيْرِهِ وَمَنْ فَعَلَهُ مِنْ التَّرِكَةِ غَرِمَ حِصَّةَ غَيْرِهِ الَّذِي لَمْ يَأْذَنْ فِيهِ إذْنًا صَحِيحًا وَإِذَا كَانَ فِي الْمَبِيتِ عِنْدَ أَهْلِ ( الفتاوى الفقهية الكبرى لأبن حجر الهيتمى )
    oوالتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه فى سبعة ايام او اكثر او اقل وتقييده ببعض الايام من العوائد فقط كما افتى بذلك السيد احمد دحلان وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفى سابع وفي تمام العشرين وفى الاربعين وفى المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما افاده شيخنا يوسف السنبلاويني اما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه مالم يكن من مال الايتام والا فيحرم (نهاية الزين : باب فى الوصية , 281)

    BalasPadam
  7. Tradisi yang berlaku dan berkembang di kalangan nahdliyin adalah : apabila ada seorang muslim meninggal dunia, maka tetangga dan kerabat yang ada disekitarnya berbondong-bondong melakukan ta’ziyah, dan dapat dipastikan bahwa pada saat ta’ziyah kebanyakan dari mereka membawa beras, gula, uang dan lain sebagainya. Tetangga yang ada di kanan-kiri bahu-membahu membantu keluarga korban untuk memasak dan menyajikan jamuan, baik untuk keluarga korban atau untuk para penta’ziyah yang hadir. Apabila hal ini yang terjadi, apakah ini tidak dapat dianggap sebagai terjemahan kontekstual dari hadits nabi yang berbunyi :
    قال النبي صلى الله عليه و سلم : اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد أتاهم أمر يشغلهم
    Hadits di atas apabila diamalkan secara tekstual justru akan menjadi mubadzir, karena kalau seandainya semua tetangga yang ta’ziyah membawa makanan yang siap saji, maka dapat dipastikan akan banyak makanan yang basi. Catatan yang lain lagi adalah bahwa jamuan yang disajikan di dalam acara tahlilan bukanlah merupakan tujuan. Tujuan utama para tetangga yang hadir adalah berdo’a untuk si mayit. Karena demikian, jamuan boleh diadakan dan juga boleh ditiadakan. Bahkan, banyak dari kalangan ulama yang menjadi tokoh utama warga nahdliyin memberikan pemahaman dan anjuran agar jamuan yang ada lebih disederhanakan, dan bahkan kalau mungkin hanya sekedar hidangan minum teh saja.
    •Berkumpul untuk melakukan tahlilan pada saat setelah kematian dianggap “niyahah” (meratap).
    Realitas berkumpul pada saat tahlilan sulit untuk dapat dipahami “hanya sekedar berkumpul” dalam rangka tenggelam dan larut dalam kesedihan, dimana hal ini dianggap sebagai illat al-hukmi kenapa berkumpul tersebut dianggap sebagai niyahah. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab I’anat al-Thalibin, yang berbunyi
    كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.
    Berkumpul pada malam setelah kematian bukanlah menjadi tujuan. Yang menjadi tujuan adalah berdzikir dan berdoa untuk si mayit yang sedang mengalami ujian berat sebagaimana yang ditegaskan didalam kitab Nihayat al-zain, hal : 281 yang berbunyi :
    وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم انه قال ما الميت في قبره الا كالغريق المغوث – بفتح الواو المشددة – اى الطالب لان يغاث ينتظردعوة تلحقه من ابنه او اخيه او صديق له فاذا لحقته كانت احب اليه من الدنيا وما فيها
    Ketika seorang muslim mendapat musibah (ditinggal mati keluarga, kena gempa, dll), adalah suatu kesunahan bagi saudara-saudaranya untuk datang takziah kepadanya, serta menghibur agar bersabar dari cobaan.Tidak ada yang lebih baik dari menghibur serta meringankan bebannya selain daripada mengajaknya berdzikir, mengingat Allah, dan berdoa bersama-sama, mendoakan si mayit dan keluarga yg ditinggalkannya.

    BalasPadam
  8. Dari uraian di atas sulit dapat diterima apabila lafadz ” الاجتماع” yang terdapat didalam hadits nabi diarahkan pada tradisi tahlilan yang isinya adalah berdzikir dan berdoa, bukan semata-mata berkumpul hanya sekedar tenggelam dan berlarut-larut dalam kesedihan.

    BalasPadam
  9. Pembacaan Al-Qur’an di kuburan untuk orang yang telah wafat
    Hadits tentang wasiat Ibnu Umar ra yang tertulis dalam syarah Aqidah Thahawiyah hal. 458 :
    عَنِ إبْنِ عُمَر(ر) أوْصَى أنْ يُقْرَأ عَلَى قَبْرِهِ وَقْتَ الدَفنِ بِفَوَاتِحِ سُوْرَةِ البَقَرَةِ وَخَوَاتِمِهَا
    “Dari Ibnu Umar ra : “Bahwasanya beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awal-awal surat al-Baqarah dan akhirnya..”.
    “Dari Ibnu Umar ra: “Bahwasanya beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awal-awal surat al-Baqarah dan akhirnya..”.
    Hadits ini menjadi pegangan Muhammad bin Hasan dan Imam Ahmad bin Hanbal padahal Imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala amalan dari orang yang hidup pada orang yang telah mati. Namun setelah beliau mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat Ibnu Umar ini beliaupun mencabut pengingkarannya itu (Mukhtasar Tazkirah Qurtubi hal. 25).
    Ada hadits yang serupa dalam Sunan Baihaqi dengan isnad Hasan:
    “Bahwasanya Ibnu Umar menyukai agar dibaca diatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat Al-Baqarah dan akhirnya”.
    Perbedaan dua hadits terakhir diatas ialah yang pertama adalah wasiat Ibnu Umar sedangkan yang kedua adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
    Hadits dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulallah saw.bersabda :”Jika mati seorang dari kamu, maka janganlah kamu menahannya dan segeralah membawanya kekubur dan bacakanlah Fatihatul Kitab disamping kepalanya”. (HR. Thabrani dan Baihaqi)
    Abu Hurairah ra.meriwayatkan bahwasanya Nabi saw. bersabda :
    “Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘Al-Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhaakumut takatsur’, lalu ia berdo’a Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firman-Mu pada kaum Mu’minin dan Mu’minat penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya (pemberi syafa’at) pada hari kiamat”.
    Hadits-hadits diatas atau hadits-hadits lainnya dijadikan dalil yang kuat oleh para ulama untuk menfatwakan sampainya pahala pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang telah wafat. Apa mungkin para sahabat Nabi seperti Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah [ra] mengeluarkan kata-kata yang mengandung ilmu gaib (yaitu mengenai imbalan pahala) tidak dari Rasulallah saw. atau meriwayatkan sesuatu amalan yang berbau kesyirikan atau larangan dalam agama Islam? Mereka berdua adalah termasuk salah satu tokoh dari golongan Salaf Sholeh, mengapa golongan pengingkar ini menolaknya ?

    BalasPadam
  10. Imam Nawawi dalam Syahrul Muhadzdzib mengatakan: ‘Disunnahkan bagi orang yang berziarah kekuburan membaca beberapa ayat Al-Qur’an dan berdo’a untuk penghuni kubur’.
    Imam Nawawi menyimpulkan bahwa membaca Al-Qur’an bagi arwah orang-orang yang telah wafat dilakukan juga oleh kaum Salaf (terdahulu). Pada akhirnya Imam Nawawi mengutip penegasan Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad bin Taimiyah (Ibnu Taimiyyah) sebagai berikut :
    “Barangsiapa berkeyakinan bahwa seorang hanya dapat memperoleh pahala dari amal perbuatannya sendiri, ia menyimpang dari ijma’ para ulama dan dilihat dari berbagai sudut pandang keyakinan demikian itu tidak dapat dibenarkan”.
    Juga keterangan singkat yang diungkapkan seorang ulama terkemuka di Indonesia Ustadz Quraish Shihab dalam bukunya Fatwa-fatwa Seputar ibadah dan Muamalah halaman 27 mengenai ‘berdo’a dan membacakan Al-Qur’an untuk orang mati’ adalah sebagai berikut :
    “Berdo’a untuk kaum Muslimin yang hidup atau yang sudah wafat adalah anjuran agama. Membaca Al-Qur’an juga merupakan salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Hanya saja, terdapat perbedaan paham di kalangan para ulama masalah bermanfaat atau tidaknya bacaan itu bagi orang yang telah wafat. Memang, dalam kitab-kitab hadits, ditemukan yang menganjurkan pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang akan atau telah wafat. Diantara- nya, Abu Dawud meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Ma’qil bin Yasar, menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Bacalah surat Yaa Sin untuk orang-orang yang (akan atau sudah) mati (dari kaum Muslim)’.
    Nilai keshohihan hadits diatas ini dan semacamnya masih ada yang memper selisihkannya. Sekalipun ada golongan yang mengatakan hadits-hadits tersebut lemah atau tidak ada sama sekali tidak ada halangan untuk membaca ayat Al-Qur’an bagi orang yang akan wafat atau telah wafat. Dikalangan para ulama hadits, dikenal kaidah yang menyatakan bahwa hadits-hadits yang tidak terlalu lemah dapat diamalkan khususnya dalam bidang fadhail (keutamaan) !
    Para Ulama juga menyatakan bahwa membaca Al-Qur’an pada dasarnya dibenarkan oleh agama dan mendapat pahala, bila (kecuali orang yang sedang junub/haid–pen.) dan dimanapun berada (kecuali di dalam tandas–pen.). Diantara perselisihan ulama itu adalah ‘Apakah dapat diterima hadiah pahala bacaan tersebut oleh almarhum atau tidak! (Jadi bukan masalah pembacaannya! –pen.)

    BalasPadam
  11. Syekh Muhammad Al-Syarabashi dalam bukunya Yas’alunaka mengutip pendapat Al-Qarafi dalam kitab Al-Furuq bahwa kebaikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain yang telah meninggal mencakup tiga kategori :
    a). Disepakat tidak bermanfaat: memberi pahala keimanan kepada orang yang telah wafat.
    b). Disepakati bermanfaat: seperti shodaqah yang pahalanya diberikan kepada orang telah wafat.
    c) Diperselisihkan apakah bermanfaat atau tidak: seperti menghajikan, berpuasa dan membaca Qur’an untuk orang yang telah meninggal.
    Sementara madzhab Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, berpendapat pahalanya dapat diterima oleh yang telah mati. Kemudian Imam Al-Qarafi yang bermadzhab Maliki ini menutup keterangannya bahwa persoalan ini (pahala untuk yang wafat), walaupun diperselisihkan, tidak wajar untuk ditinggalkan dalam hal pengamalannya. Sebab, siapa tahu, hal itu benar-benar dapat diterima oleh orang yang telah wafat, karena yang demikian itu berada diluar jangkauan pengetahuan kita.
    Perbedaan pendapat terjadi bukan pada hukum boleh tidaknya membaca Al-Qur’an untuk orang yang akan atau telah wafat, melainkan pada kenyataan sampai tidaknya pahala bacaan itu kepada si mayit!“ Demikianlah keterangan yang diungkapkan oleh Ustadz Quraish Shihab dalam bukunya ‘Fatwa-fatwa seputar ibadah dan muamalah’.
    Untuk mempersingkat halaman, penulis ingin mengutip sebagian saja nama ulama-ulama pakar dan kitab mereka yang mengakui sampainya hadiah pahala bacaan yang ditujukan untuk si mayit diantaranya sebagai berikut:
    “Imam Ahmad bin Hanbal; ulama-ulama dalam madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i; Muhammad bin Ahmad al-Marwazi dalam kitab Hujjatu Ahli Sunnah Wal-Jama’ah hal.15 ; Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil Iz (Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 457); Dr. Ahmad Syarbasi ( Yasaluunaka fid din wal-hayat 3/413 ); Ibnu Taimiyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442 ) ; Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442) juga Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh mengatakan bahwa “Al-Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ “ sewaktu membahas ‘Bacaan disamping kubur’ ; Al-Allamah Muhammad al-Arobi (Majmu’ Tsholatsi Rosaail ) ; Imam Qurtubi ( Tazkirah Al-Qurtubi hal. 26 ) ; Imam Sya’bi mengatakan: ‘Orang-orang Anshor jika ada diantara mereka yang wafat, maka mereka berbondong-bondong kekuburnya sambil membaca Al-Qur’an disampingnya (kuburan nya)’. Ucapan Syekh Sya’bi ini dikutip oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh halaman 13; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa.

    BalasPadam
  12. Dan masih banyak lagi ulama-ulama berbeda madzhab yang membenarkan hadiah pahala bacaan ini. Jadi jelas bagi kita setelah membaca dan meneliti kutipan pada lembaran sebelum dan berikut ini banyak hadits Nabi saw. serta anjuran para sahabat dan ulama-ulama pakar tentang dibolehkannya serta sampainya pahala amalan orang yang masih hidup ditujukan kepada si mayyit. Disamping itu, semua madzhab sepakat bahwa pembacaan Al-Qur’an akan mendapat pahala bagi pembacanya bila dan dimanapun, yang mana pahala itu selalu diharapkan oleh setiap muslim.
    Kita tidak boleh langsung menuduh semua amalan yang (menurut pendapat sebagian ulama) haditsnya terputus, lemah, palsu, atau tidak ada haditsnya dan sebagainya itu haram untuk diamalkannya. Kita harus meneliti lebih jauh lagi bagaimana pendapat ulama lainnya dan harus meneliti apakah amalan tersebut menyalahi atau keluar dari syariat yang telah digariskan Islam atau tidak ?, bila tidak menyalahi syari’at Islam, boleh dijalankan ! Apalagi amalan-amalan yang masih mempunyai dalil maka tidak ada alasan orang untuk mengharamkan, mensesatkan atau membid’ahkan sesat amalan-amalan tersebut karena tidak sependapat dengan mereka, menghukum suatu amalan sebagai haram, harus mengemukakan dalil yang jelas dan shohih dari Rasulallah saw.
    Pahala membaca Al-Qur’an
    Setelah keterangan singkat diatas mengenai membaca Al-Qur’an untuk si mayyit dikuburkan, marilah kita meneliti dalil-dalil dan pandangan ulama pakar mengenai pahala orang yang membaca ayat Al-Qur’an, juga anjuran-anjuran untuk membaca surat Yaasin, surat Al-Ikhlas dan lainnya pada orang-orang yang akan atau sudah wafat. Dengan demikian buat pembaca lebih jelas lagi bahwa bacaan yang dibaca (didalam majlis-majlis dzikir termasuk tahlilan/ yasinan dan lainnya) pasti akan mendapatkan pahala dari Allah swt., jadi bukan sebaliknya akan mendapat dosa dan sebagainya sebagaimana yang dikatakan oleh golongan pengingkar .
    Ibn Mas’ud ra berkata: Rasulallah saw. bersabda:
    عَنِ ابْنِ مَسْعُود(ر) ِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله.صَ. مَنْ قَرَأ حَرْفاً مِنْ كِتَابِ الله فَلَهُ حَسَن,
    وَالحَسَنَة بِعَشْرِ أمْثَالِهَا, لآ أقوْلُ الم حَرْفٌ, بَلْ ألِفْ حَرْفٌ, وَلاَمْ حَرْفٌ وَمِيْم حَرْفٌ. (رواه الترميذي)
    “Siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka mendapat hasanat/ kebaikan dan tiap hasanat mempunyai pahala berlipat sepuluh kali. Saya tidak berkata: Alif lam mim itu satu huruf, tetapi Alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf”.(HR. Attirmidzy).
    Lihat Hadits ini siapa yang membaca al-Qur’an akan dilipatkan pahala setiap hurufnya menjadi sepuluh kali. Pahala apa yang akan diberikan Allah swt. setiap hurufnya itu tidak ada keterangan yang jelas. Untuk lebih mudahnya kita ambil misal saja, bila pahala yang diberikan Allah swt. untuk satu huruf tersebut (misalnya sudah kita ketahui) yaitu berupa satu pohon di surga dan Dia akan melipatkan 10x pahalanya berarti kita akan memperoleh 10 pohon untuk setiap hurufnya, jadi kita bisa hitung sendiri berapa pohon yang akan kita peroleh hanya dengan bacaan surat Fatihah saja?. Ingat Rahmat dan Kurnia Allah swt. tidak ada batasnya. Jangan kita sendiri yang membatasinya !

    BalasPadam
  13. Mari kita teruskan membaca dalil-dalil mengenai pembacaan Al-Qur’an yang bermanfaat bagi orang yang akan atau sudah wafat berikut ini :
    ‘Bacalah Yaa Siin bagi orang-orang yang (akan atau telah) meninggal diantara kalian (muslimin)’.
    Riwayat serupa oleh Abu Hurairah ra juga telah dicatat oleh Abu Ya’la dalam Musnad beliau dan Hafidz ibn Katsir telah mengklasifikasikan rantai periwayatnya (sanadnya) sebagai Hasan/baik (lihat Tafsiir Ibn Katsiir Juz 3 hal. 570).
    Al-Baihaqi dalam Sya’bul Iman menjelaskan sebuah hadits riwayat Mi’qal bin Yasar bahwa Rasulallah saw. bersabda :
    مَنْ قَرَأ يَس إبْتِغَاء وَجْه اللهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ , فَاقْرَؤُاهَاعِنْدَ مَوْتَاكُمْ.
    “Barangsiapa membaca Yaa Sin semata-semata demi keridhaan Allah, ia memperoleh ampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu. Karena itu hendaklah kalian membacakan Yaa Sin bagi orang yang (akan atau telah) wafat diantara kalian (muslimin)”. (Hadits ini disebutkan juga dalam Al-Jami’us Shaghier dan Misykatul Mashabih).
    Ma’aqal ibn Yassaar ra meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. bersabda;
    “Yasin adalah kalbu (hati) dari Al-Qur’an. Tak seorang pun yang membacanya dengan niat menginginkan Akhirat melainkan Allah akan mengampuninya. Bacalah atas orang-orang yang (akan dan telah) wafat diantaramu.” (Sunan Abu Dawud). Imam Hakim mengklasifikasikan hadits ini sebagai Shohih/ Autentik, lihat Mustadrak al-Haakim juz 1, halaman 565; lihat juga at-Targhiib juz 2 halaman 376.
    Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Hafidz As–Salafi (Mukhtasar Al-Qurtubi hal. 26).
    Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad dari Safwaan bahwa ia berkata: “Para ulama biasa berkata bahwa jika Yaasin dibaca oleh orang-orang yang akan wafat, Allah akan memudahkan maut itu baginya.” (Lihat tafsir Ibnu Katsir jild 3 halaman 571).
    Dari Jund bin Abdullah ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Barang siapa membaca Surat Yaasin pada malam hari dengan niat mencari ridha Allah dosa-dosanya akan diampuni” (Imam Malik bin Anas, dalam kitabnya Al Muwattha’). Ibnu Hibban menshohihkannya (lihat shohih Ibn Hibban jilid 6 halaman 312, juga lihat At Targhiib jilid 2 hal. 377).
    Lihat hadits ini pahala tertentu bacaan Yaasin Allah swt akan mengampuni dosa-dosa si pembacanya. Manfaat pengampunan ini yang selalu diharapkan oleh setiap Muslimin !!

    BalasPadam
  14. Riwayat serupa dari Abu Hurairah ra juga dicatat oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya dan Ibnu Kathir telah mengklasifikasikan rantai perawinya sebagai Hasan/baik. (Lihat tafsir Ibnu Katsir jilid 3 hal.570).
    Syaikh Muhammad Al-‘Arabi At-Tibani, seorang ulama Masjidil Haram dalam risalahnya yang berjudul Is’aful Muslimin wal Muslimat bi Jawazil Qira’ah wa Wushulu Tsawabiha Lil Amwat mengatakan membaca Al-Qur’an itu dapat sampai kepada arwah orang yang telah meninggal.
    Juga mengenai fadhilah/pahala membaca surat Al-Ikhlas, Abu Muhammad As-Samarkandy, Ar-Rafi’i dan Ad-Darquthni, masing-masing menunjuk sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw bahwa Rasulallah saw. bersabda:
    Ma’aqal ibn Yassaar ra meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. bersabda;
    مَنْ مَرَّ عَلَى المَقَبِرِ وَقَرَأ قُلْ هُوَا الله اَحَدٌ إحْدَ عَشَرَةَ مَرَّةٌ, ثُمَّ وَهَـبَ أجْرُهَا لِلأَمْوَاتِ , أعْطِي مِنَ الأجْرِ بِعددِ الأمْوَات
    “Barangsiapa lewat melalui kuburan, kemudian ia membaca ‘Qul Huwallahu Ahad’ sebelas kali dengan niat menghadiahkan pahalanya pada para penghuni kubur, ia sendiri akan memperoleh pahala sebanyak orang yang mati disitu (atau mendapat pahala yang diperoleh semua penghuni kubur)”.
    Berdasarkan riwayat surat Yaasin yang cukup banyak maka ulama-ulama pakar atau orang-orang lainnya yang memegang hadits-hadits ini, mengamalkannya baik secara individu atau berkelompok sebagai amalan tambahan. Hadits-hadits diatas mengenai keistemewa an dan pahala-pahala tertentu surat Yaasin.
    Mari kita rujuk lagi hadits-hadits mengenai pahala-pahala dan keistemewaan tertentu surat Al-Qur’an selain surat Yaasin. Walaupun kita setiap hari membaca berulang-ulang hanya satu surat saja dari Al-Qur’an tersebut akan tetap dapat pahala bagi yang membacanya karena termasuk ayat Al-Qur’an dan tidak ada satu hadits atau ayat Ilahi yang melarang orang membaca hanya satu ayat dari Al-Qur’an. Dan tidak ada satu orang pun dari kaum muslimin yang mengamalkan ini berkeyakinan atau mengatakan bahwa Al-Qur’an itu hanya terdiri dari satu ayat yang dibaca itu saja serta mengharuskan/mewajibkan orang membaca hanya ayat itu saja !

    BalasPadam
  15. Golongan pengingkar ada yang mengatakan bahwa Ibnul Qayyim berkata : “Barangsiapa membaca surat ini akan diberikan pahala begini dan begitu semua hadits tentang itu adalah Palsu ! Beliau dengan alasan bahwa orang-orang yang memalsukan hadits-hadits itu telah mengakuinya sendiri bahwa tujuan mereka membuat hadits palsu tersebut adalah agar manusia sibuk dengan membaca surat-surat tertentu dari Al Qur’an serta menjauhkan mereka membaca isi Al Quran yang lain ” !!!
    Umpama saja Ibnul Qayyim benar berkata demikian, ini juga bukan suatu dalil/hujjah untuk melarang membaca ayat-ayat tertentu dari ayat Al-Qur’an, karena tidak sedikit hadits yang menyebutkan keistemewaan tertentu dan pahala tertentu pada ayat-ayat Al-Quran, dengan demikian pendapat Ibnul-Qayyim terbantah dengan hadits-hadits tentang bacaan surat Yasin diatas dan surat-surat lain berikut ini :
    Hadits dari Abu Sa’id ra bahwa Nabi saw bersabda: ‘Apakah kalian sanggup membaca sepertiga (1/3) Qur’an dalam satu malam?’ Rupanya hal itu memang terasa berat bagi mereka, maka jawab mereka: ‘Siapa pula yang akan sanggup melakukan itu diantara kami, ya Rasulallah!’. Maka sabda Nabi saw ’Allaahul wahidus shamad ’ maksudnya surat Al Ikhlas adalah sepertiga dari Al- Qur’an”. (HR.Bukhori, Muslim dan An-Nasa’i)
    Ada riwayat yang serupa dari Abu Hurairah ra yang diriwayatkan oleh Muslim.
    Lihat hadits diatas ini termasuk juga sebagai pahala tertentu, siapa baca sekali surat Al-Ikhlas sudah memadai seperti baca sepertiga ayat dari Al- Qur’an. Disini tidak berarti kita mengharuskan dan hanya membaca surat Al-Ikhlas saja, seperti isu-isu belaka golongan pengingkar ini !
    Hadits dari Abu Sa’id Al Khudri ra bahwa Nabi saw bersabda: ‘Adanya Rasulallah saw. berlindung dari gangguan jin dan mata manusia dengan beberapa do’a, tetapi setelah diturunkan kepadanya Almu’awwidatain (Surat Al-Falaq dan An-Naas), beliau saw. membaca keduanya itu dan meninggalkan segala do’a-do’a lainnya’. (HR At Tirmidzi)
    Hadits diatas ini menunjukkan dua surat (Al-Falaq dan An-Naas) mempunyai keistemewaan tertentu juga, bisa menghalangi dan menolak gangguan jin dan mata manusia. Juga mendapat pahala yang membacanya. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Falaq dan An-Naas saja dan kita hanya diharuskan membaca dua surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !
    Hadits dari Abu Mas’ud Al Badry ra berkata, bersabda Nabi saw: ‘Siapa yang membaca dua ayat dari akhir surat Al-Baqoroh pada waktu malam telah mencukupinya’. (HR.Bukhori dan Muslim).
    Kata-kata telah mencukupinya dalam hadits itu berarti ia telah terjamin keselamatannya dari gangguan syaithon pada malam itu. Ini juga termasuk keistemewaan tertentu dari dua ayat terakhir dari surat Al Baqoroh (yaitu dimulai dari Aamanar Rosuulu bimaa unzila ilaihi ayat 285…sampai akhir ayat al Baqoroh Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Baqoroh dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya!

    BalasPadam
  16. Hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda: ‘Didalam Qur’an ada surat berisi tiga puluh ayat dapat membela seseorang hingga diampunkan baginya yaitu Tabarokalladzi Biyadihil Mulku (surat Al-Mulk)’. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)
    Hadits ini menunjukkan keistemewaan dan pahala tertentu juga bahwa siapa yang membacanya akan dapat membelanya dan mengampunkan dosanya ! Pahala pengampunan ini sangat diharapkan oleh semua kaum muslimin. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Mulk saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !
    Hadits dari Abu Hurairah ra Nabi saw bersabda: ‘Jangan kamu menjadikan rumahmu bagaikan kubur (hanya untuk tidur belaka), sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan padanya surat Al-Baqoroh’. (HR.Muslim)
    Hadits ini juga mempunyai keistemewaan tertentu Al-Baqoroh bisa mengusir setan dari rumah kita. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari surat Al-Baqoroh saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya !
    Hadits dari Abu Darda ra, Sabda Rasulallah saw : ‘Siapa yang hafal sepuluh ayat dari permulaan surat Al-Kahfi, akan terpelihara dari godaan fitnah Dajjal’. (HR.Muslim). Dalam lain riwayat: ‘Sepuluh ayat dari akhir surat Al Kahfi’.
    Hadits ini menunjukkan keistemewaan tertentu yaitu siapa yang dapat menghafal dan membacanya dari ayat tersebut, terhindar dari fitnahan Dajjal. Disini tidak berarti orang mempunyai firasat bahwa Al-Qur’an hanya terdiri dari 10 ayat dari surat Al-Kahfi saja dan kita hanya diharuskan membaca surat tersebut serta menjauhi ayat Al-Qur’an lainnya!
    Dan masih banyak lagi mengenai keistemewaan dan pahala tertentu mengenai Ayat Kursi, ayat Al-Fatihah (Ummul Kitab/ibunya Qur’an), mengenai keutamaan mengucapkan Laa ilaaha illallah, membaca Tasbih, Takbir dan Sholawat atas Nabi saw. dan sebagainya yang tidak saya sebutkan satu persatu disini. Juga pahala-pahala tertentu amalan-amalan puasa, sholat dan sebagainya.
    Apakah semua hadits-hadits keistemewaan dan pahala tertentu tersebut diatas yang diriwayatkan oleh perawi-perawi terkenal adalah hadits palsu ? Apakah dengan adanya hadits-hadits tersebut, orang mempunyai firasat hanya harus membaca ayat-ayat tertentu itu dan meniadakan ayat Al-Qur’an lainnya ? Sudah Tentu Tidak !
    Pandangan yang demikian itu menunjukkan kedangkalan ilmu serta kefanatikan golongan pengingkar ini terhadap fahamnya sendiri sehingga semua hadits yang tidak sefaham dengan mereka dianggap tidak ada, palsu, lemah dan melarang dan lain sebagainya ! Saya berlindung pada Allah swt.. dalam hal ini.

    BalasPadam
  17. Amalan orang hidup yang bermanfaat bagi si mayit
    Mari kita telaah lagi amalan orang hidup yang bermanfaat bagi si mayit. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Abbas ra berkata:
    وَعَنِ ابْنِ عَبَّـاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُـمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ
    فَيَقُوْمُ عَلَى جَنَـازَتِهِ أرْبَعُوْنَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُوْنَ بِاللهِ شَيْئًا اِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللهُ بِهِ (رواه مسلم)
    Saya telah mendengar Rasulallah saw. bersabda: ‘Tiada seorang muslim wafat, maka berdiri menyembahyangkannya empat puluh (40) orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, melainkan dapat dipastikan Allah menerima syafa’at dan permintaan ampun mereka itu’. (HR. Muslim)
    Hadits dari Martsad bin Abdullah Alyazani berkata:
    وَعَنْ مَرْثََـدِ ابْنِ عَبْدِاللهِ اليَزَنِيِّ (ر) قَالَ: كَانَ مَالِكُ بْنُ هُبَيْرَةَ اِذَا صَلَّى عَلَى الْجَنَازَةِ فَتَقَالَّ النَّاسَ
    عَلَيْهَا جَزَّئَهُمْ ثَلاَثَةَ أجْزَاءٍ ثًمَّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوْفٍ فَقَدْ أوْجَبَ (رواه ابو داود و الترميذي)
    “Adalah Malik bin Hubairoh jika menyembahyangkan jenazah dan melihat orang-orangnya hanya sedikit, maka dibagi mereka tiga (3) baris, kemudian ia berkata: Rasulallah saw. bersabda: ‘Siapa yang disembahyangkan oleh tiga barisan, maka telah dapat dipastikan’ ”. (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)
    Maksud kata-kata dapat dipastikan dalam hadits itu ialah pasti diampunkan mayitnya dan Allah akan menerima syafa’at dan permohonan mereka.
    Hadits dari Abu Hurairah berkata: “Ada seorang tukang sapu masjid, pada beberapa hari tidak terlihat oleh Rasulallah saw. sehingga beliau bertanya tentang orang itu. Dijawab; Ia telah wafat. Nabi bersabda: Mengapakah kamu tidak memberitahu padaku? Tunjukkan padaku kuburannya. Maka orang-orang menunjukkan kepada Nabi saw. kuburan tukang sapu itu, dan disitu Nabi sholat mayat (jenazah). Kemudian setelah sholat bersabda: Sesungguhnya kubur-kubur ini tadi penuh kegelapan, dan Allah telah menerangi padanya dengan sholatku pada mereka”. (HR.Bukhori, Muslim)
    Hadits-hadits diatas ini menunjukkan juga bahwa seorang yang telah wafat masih dapat tertolong oleh bantuan amalan orang yang masih hidup, dan yang demikian ini terserah pada Allah, karena rahmat Allah dan kurnia-Nya tidak terbatas. Juga hadits terakhir diatas menunjukkan dibolehkannya orang yang ketinggalan sholat jenazah untuk bersholat didepan kuburannya. Ini berlaku untuk semua muslimin karena dihadits itu tidak disebutkan sholat jenazah ditempat kuburan tersebut hanya khusus berlaku untuk Nabi saw. Beliau saw. adalah contoh bagi ummatnya, bila itu dilarang atau khusus untuk beliau saja, maka beliau saw. pasti akan memberitahunya ! Semuanya ini menunjukkan bahwa do’a itu manfaatnya sangat banyak baik untuk orang yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Allah swt. sendiri telah menjanjikan siapa yang berdo’a kepada-Nya pasti akan dikabulkannya. Firman-firman Allah swt. agar manusia selalu berdo’a baik untuk dirinya maupun untuk lainnya : “Dan Tuhanmu berfirman; ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan bagimu’ ”. (Al- Mu’min :60).

    BalasPadam
  18. Firman-Nya: “Dan seandainya hamba-hambaKu bertanya padamu (Muhammad) mengenai Aku, maka sesungguhnya Aku ini Maha dekat. Aku akan mengabulkan permohonan dari orang yang berdo’a, jika ia berdo’a pada-Ku”. (Al-Baqoroh : 186)
    Juga firman Allah swt.: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a; Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami ”. (Al-Hasyr:10)
    Ibnu Hajr dalam kitabnya Khatimatul Fatwa mengatakan bahwa manfaat terbesar yang dapat diperoleh dengan do’a ialah orang yang berdo’a tidak akan dikecewakan sama sekali. Bila takdirnya bergantung pada do’a, maka ia akan melihat manfaat do’anya, namun bila takdirnya itu tidak bergantung pada do’a maka manfaat do’a adalah ganjaran pahala, karena do’a termasuk ibadah.
    Sedangkan hadits-hadits Rasulallah saw. yang berkaitan dengan do’a berikut ini :
    Hadits dari Salman Farisi bahwa Rasulallah saw. bersabda; ‘Tidak dapat menolak gadha/takdir (Allah swt.) kecuali do’a’, dan tidak bisa menambah umur kecuali kebaikan !” (HR.At-Tirmidzi).
    Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Bazzar dan Thabrani juga oleh Hakim yang menyatakan isnadnya sah dari Aisyah ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda:
    “Tidak mempan (tidak bisa menolak) sikap berhati-hati terhadap takdir, sedang do’a itu akan memberi manfaat, baik terhadap hal-hal yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Dan sungguh, malapetaka itu turun, lalu disambut oleh do’a, maka bergulatlah keduanya sampai hari kiamat”.
    Maksud hadits itu ialah Allah swt. bisa merubah takdir malapetaka yang akan dikenakan pada hamba-Nya dikarenakan do’a hamba itu kepada-Nya.
    Masih banyak lagi ayat Ilahi dan hadits Rasulallah saw. mengenai do’a ini yang tidak bisa kami kemukakan satu persatu disini. Kita dibolehkan berdo’a apa saja kepada Allah swt. yang penting dalam kebaikan, tetapi bacaan atau kalimat do’a yang terbaik ialah yang diajarkan oleh Rasulallah saw. termasuk disini ialah bacaan/kalimat do’a pada waktu sholat jenazah atau waktu ziarah kubur. Sudah tentu dalam sholat jenazah atau ziarah kubur kita dibolehkan membaca do’a selain yang diajarkan oleh Rasulallah saw. yang terpenting semua ini terfokus (tertuju) untuk mohon pengampunan bagi si mayat. (info: berdo’a pada waktu sholat banyak ahli fiqih mengatakan harus berbahasa Arab, bila tidak bisa membatalkan sholatnya).
    Ini semua sunnah Rasulallah saw. serta menunjukkan bahwa si mayit itu masih bisa menerima syafa’at dari amalan orang lain yang masih hidup. Dengan demikian isi dan inti do’a dalam sholat jenazah dan ziarah kubur ialah mohon ampunan untuk si mayit, ampunan ini adalah salah satu syafa’at dan manfaat yang besar serta selalu diharapkan oleh setiap muslimin.

    BalasPadam
  19. Ingat sekali lagi, jangan melihat cara atau bagaimana orang melakukan suatu amalan, tapi lihatlah apakah amalan tersebut melanggar yang telah digariskan oleh syari’at Islam atau tidak?
    Begitu juga halnya dalam majlis tahlilan/yasinan (baca keterangan selanjutnya) tujuan utama setelah membaca ayat-ayat Al-Qur’an, tasbih, tahmid, sholawat pada Nabi saw. dan sebagainya adalah membaca do’a pada Allah swt. khusus untuk si mayyit. Semua bacaan dzikir yang dibaca dalam majlis ini sudah pasti akan mendapat pahala, banyak hadits yang meriwayatkannya.
    Kalau ada ulama yang mengatakan bahwa membaca hal-hal tersebut berdosa, haram dan tidak mendapat pahala, ini hanya fitnahan-fitnahan ulama dari kalangan orang yang tidak senang menghadiri majlis dzikir tersebut, serta omongan mereka ini tidak berdasarkan dalil. Ingat sekali lagi bahwa membaca dzikir dan do’a ini tidak diperlukan waktu, tempat dan cara-cara tertentu yang disyariatkan, jadi bebas setiap waktu hanya pembacaan Al-Qur’an-nya saja (menurut para ulama ahli fiqih) yang mempunyai syarat-syarat tertentu, umpamanya wanita yang sedang haidh atau orang yang sedang junub (suami isteri belum bersuci setelah berkumpul) itu dilarang membaca ayat-ayat Al Qur’an.
    Beliau saw. juga menganjurkan kita untuk ziarah kubur dan mengajarkan kalimat-kalimat salam dan do’a untuk ahli kubur tersebut. Disini tidak ada bedanya orang yang baru wafat atau sudah lama wafat semuanya adalah mayit. Karena mayyit itu bisa mendengar salam dan bacaan kita tersebut sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits Rasulallah saw.. Pendengaran mereka itu lebih tajam dari pendengaran kita yang masih hidup ini. Begitu juga tidak ada larangan dalam syari’at untuk membacakan Al-Qur’an, dan berdo’a untuk mayat baik waktu baru di kubur, waktu ziarah kubur maupun setiap waktu baik habis sholat atau lainnya.

    BalasPadam
  20. Orang yang menahan diri daripada melakukan tahlil arwah bukan antisosial atau tidak sayang kepada arwah. Mereka menuruti pemahaman Imam Besar syafie dan imam2 lain dalam beragama. Itu sudah dijelaskan dalam tulisan asal oleh penulisnya.
    wallahu aklam.

    BalasPadam
  21. Saya ucapkan terima kasih atas sumbangan maklumat dalam semua respon. Untuk makluman tuan2, saya telah mengalami percambahan hujah ini sejak tahun 1986 lagi, bukan baru setahun dua. Ini saya mula2 pelajari di sebuah madrasah di Kuala Pilah. Jadi salahlah jika ada yang mendakwa saya ini mujtahid. Saya orang kampung saja.

    Dan kerana telah lama dan meneliti hujahan kedua-dua belah pihak, saya terima hujahan yang dikira paling kuat terutama yang didasari ayat-ayat al-Quran. Sebab itulah saya menyatakan ayat2 alquran sebagai dasar pemahaman saya. Kalau tidak ada ayat2 alquran ini, saya akan meneruskan saja pemahaman nenek moyang yang sedia ada.

    Saya hendak beri hujah akal pula. Ini hujah sampingan, yang hendak dibuang pun boleh. Hanya akal! Saya percaya Islam agama yang membawa keadilah. Sebagaimana semua ayat alquran yang saya nyatakan, keadilan yang saya fahami ialah: Setiap orang hanya menerima balasan baik atau buruk berdasarkan amalan masing-masing. Jika saya menerima pemahaman orang-orang mati dapat menerima manfaat daripada ibadah dan kebajikan yang dilakukan oleh orang hidup, bermakna itu sudah melanggar prinsip diri sendiri bertanggung jawab terhadap perbuatan masing2.

    Kerna pemahaman orang mati boleh mendapat manfaat daripada hasil ibadah orang hidup, sekarang orang mula berfikir untuk menebus dosa atau menambah koleksi pahala arwah keluarganya. Caranya dengan memberi upah kepada orang2 yang sanggup beribadah yang pahala ibadahnya diserahkan kepada arwah. Sekurang2nya setiap satu kes tahlilan upahnya RM10.00. Dan ada yang mengupah orang pandai mengaji quran RM3000.00 untuk khatam 30 juzuk, yang pahalanya dihantar kepada si mati.

    Jika begitu, kita tak dapat menghalang orang kaya daripada mengupah sekian banyak orang pandai agama mengkhatamkan bacaan quran asalkan bacaan itu dapat dimanfaatkan oleh si mati. Maka di mana keadilan kepada orang2 miskin yang tidak mampu mengupah orang membacakan alquran kepada arwah keluarganya. Ini juga seolah2, pahala itu boleh ditentukan dengan banyaknya wang! Saya tidak percaya ini ajaran Islam.

    Terpulanglah kepada tuan2 menilai semua maklum balas saya. Pada saya Islam tidak menyuruh umatnya beramal tanpa pengetahuan atau bertaklid saja. Adalah menjadi hak kepada setiap individu muslim beribadah berdasarkan ilmunya.

    Jika pun hal ini masih dalam perbincangan, ini meragukan kepada orang awam seperti saya. Jika kita membuka ayat 36 surah al-Isra, cukuplah bahawa kita boleh meninggalkan perkara yang kita sendiri tidak jelas lagi. Maksud ayat itu “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak ketahui. Kerna pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabkan.”

    Wallahu ‘aklam

    BalasPadam