ANAK-ANAK pun telah menghafal satu ketika Rasulullah telah bersabda yang maksudnya, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Akhlak itu apa, kalau bukan tingkah laku atau perangai manusia. Sepanjang hayat hidup semuanya dikatakan dalam lingkungan akhlak. Mudahnya, kalau mulia akhlak seseorang, dia seorang yang jujur, menepati janji, berlapang dada, bersabar, menghormati orang lain, suka senyum, gemar menolong orang dan banyak lagi yang baik-baik.
Kalau seseorang itu dikatakan buruk akhlaknya, maka sering diertikan seorang penipu, pembengis, pembuli, ingkar janji, menganiaya orang atau makhluk lain, pemboros, mukanya masam dan apa-apa juga yang buruk sekalipun pada nilaian akal manusia biasa.
Itulah antara sebabnya Allah cukup memelihara akhlak baginda Nabi Muhammad sejak kecil. Orang-orang Makkah memberi gelar ‘al-amin’ sebagai maksud yang dipercayai, yang jujur, yang tidak pendusta. Kelak, Muhammad akan melafazkan wahyu Allah, mulutnya tidak pernah berdusta dan peribadinya mulia. Itulah hujah dalam dakwah. Kalau saja Muhammad walupun sudah menjadi Rasulullah dikenal sebagai seorang yang sombong, pembengis dan penipu, semua wahyu yang keluar dari mulutnya tidak berguna apa-apa. Wahyu, sekalipun suci banget jika diucapkan oleh penipu, orang tak bisa percaya itulah wahyu. Orang akan berkata itu hanya omelan si penipu. Tergencatlah dakwah!
Kita, sekalipun yang bergelar ulama, ustaz atau ustazah memang tidak dapat mencapai darjat al-aminnya Rasulullah. Namun orang-orang agama ini tidak boleh sama sekali sengaja mengambil akhlak buruk dalam melakukan kerja-kerja dakwahnya. Mentang-mentang sudah pakai kopiah dan berjanggut, kemudian hafal banyak ayat al-quran, tidak ada hak untuk si duat ini menjadi pembengis, pemaksa, penipu atau pembuli. Kalau-kalau pun dengan perbuatan buruknya memang tidak ada orang akan menerima dakwahnya, tetapi perbuatan kejinya itu sudah memberi moral buruk kepada kaum agama yang jujur dan menjaga akhlak dalam hidupnya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan