DARIPADA buku
Soal-Jawab Agama, A Hassan (1950-an)
A Hassan @ Hassan Bandung |
Pertama: Yang dikatakan agama itu, ialah beberapa perintah
Allah dan perintah rasul, dan beberapa larangan Allah dan larangan rasul.
Perintah-perintah
itu ada dua macam.
Pertama, perintah
yang berhubung dengan hal keduniaan.
Kedua,
perintah-perintah yang berhubungan dengan hal ibadat.
Perintah-perintah
keduniaan itu, mesti kita kerjakan, tetapi cara-caranya tidak mesti sama dengan
perbuatan Nabi, seperti perang, umpamanya, Nabi kita lakukan dengan pedang dan
panah, maka tidak ada halangan kita kerjakan dengan senapan dan meriam, karena
yang diperintah dan yang dimaksudkan itu perangnya bukan caranya.
Adapun perintah-perintah
yang berhubungan dengan hal ibadat itu, wajib kita kerjakan menurut sebagaimana
yang dicontohkan oleh Nabi s.a.w. tidak boleh lebih, tidak boleh kurang, karena
perkara ibadat itu, tak dapat diatur-atur dan difikir-fikir oleh manusia.
Misalnya, dapatkah
kita fikirkan dengan jelas, mengapa kita diperintahkan tayamum waktu tidak ada
air, dan mengapa diwaktu Shubuh diwajibkan dua rakaat sahaja, sedang Zhuhur
empat rakaat, padahal Shubuh waktu yang lebih lapang.
Kedua: Tiap-tiap perkara dunia, pada ashalnya harus, yaitu
boleh kita kerjakan, boleh tidak, melainkan yang mana diwajibkan oleh agama,
maka wajib kita kerjakan, dan yang mana yang dilarang, tidak boleh kita
kerjakan.
Ketiga: Tidak boleh kita berbuat ibadat yang sebenarnya,
kalau tidak diperintah oleh agama, serta ditunjukkan oleh Nabi, dimana perlu.
Keempat: Berbuat bid’ah itu terlarang keras di dalam agama
karena sabda Nabi s.a.w. (artinya) “Tiap-tiap bid’ah itu sesat, dan
tiap-tiap kesesatan itu di neraka.” (H.S.R. Muslim dan Nasaie)
Tetapi jangan salah
faham di tentang larangan bid’ah itu.
Bid’ah itu dilarang di dalam urusan ibadat, bukan di dlam hal keduniaan,
karena sabda Nabi s.a.w. (artinya) “Kamu terlebih mengerti hal urusan
dunia kamu.” (H.S.R. Muslim).
Bahkan dipuji orang
yang mengadakan bid’ah yang baik di perkara dunia, dengan sabdanya (artinya)
“Barang siapa adakan (atau mulakan) di dalam Islam satu cara (keduniaan) yang
baik, maka ia dapat pahalanya dan (juga sebanyak) pahala orng-orang yang turut
mengerjakannya dengan tidak kurang sedikitpun daripada pahala mereka itu”.
(H.S.R. Muslim)
Kelima: Tidak boleh kitakan perkara itu wajib atau sunnat,
dan perkara ini haram atau makruh, kalau tidak ada keterangan dari agama,
karena wajib atau sunnat itu, artinya perkara dapat pahala, dan haram atau
makruh itu, perkara yang tidak disukai oleh Allah.
Maka bagaimana bisa
seorang menegetahui hal ghaib itu, kalau tidak diterangkan oleh agama?
Keenam: Di dalam agama dibenarkan qias, tetapi hanya di
hukum-hukum keduniaan saja, tidak sekali-kali di hukum-hukum ibadat.
Tdak pernah seorng
pun dari shahabat-shahabat Nabi mengambil qias di dalam ibadat, dan tidak pula
imam-imam mujtahidien, bahkan telah berkata imam Syafi’ie (artinya) Tidak ada
qias di (hukum) ibadat.
Dan juga kata imam
Syafi’ie (artinya) Barang siapa menganggap baik satu (ibadat), berarti ia
telah membikin agama.
Kata imam Ar Ruyanie
(artinya) Dan barangsiapa membikin agama, kufurlah ia.
Maksudnya: Bahawa
apabila seorang menganggap baika akan satu perkara ibadat dengan tidak ada
keterangan dari agama, maka berarti orang itu, menambah satu ibadat, maka barang
siapa menambah satu ibadat, tidak syak lagi ia jadi kafir.
Ketujuh: Kita wajib menerima ijma’, tetapi supaya tidak jadi
salah faham, perlu kita dapat tahu ijma’ manakah yang wajib kita turut. Ijma’ yang wajib kita turut itu, tidak lain,
melainkan ijma’ para shahabat Nabi.
Turut ijma‘ itu,
tidak berarti kita turut hukum yang mereka bikin dengan kemauan mereka sendiri,
tetapi berarti kkta turut kerjakan salah satu ibadat atau hukum yang mereka
ramai-ramai telah setuju mengerjakannya dengan kepercayaan kita, bahwa mustahil
mereka bersetuju mengerjakan sesuatu, kalau tidak mereka lihat Nabi s.a.w.
kerjakan di hadapan mereka.
Oleh sebab itulah
Nabi kita telah bersabda (artinya) “Hendaklah kamu berpegang kepada cara-cara
khalifah-khalifah yang lurus yang terpimpin.” (H.R. Abu Dawud).
Adapun ijma’ yang
lain daripada itu, tidak boleh kita turut dan juga tidak ada.
Lantaran itu kata
imam Ahmad bin Hanbal (artinya) Barang siapa mengaku ada ijma’, maka orang
itu pendusta.
(Sumber: Soal Jawab
Agama, penerbit: Persatuan, Bangil Jawa Timur, 1985.)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan