Halaman

Sabtu, Mei 12, 2012

SYI'AH dan nikah mut'ahnya


KEPADA sebagian warga muslim Malaysia, Syiah belum dianggap sebagai satu agama yang berbeda dengan Islam, malah mudah saja mendengar bahawa Syiah hanyalah perbedaan mazhab sebagaimana adanya mazhab Syafie dan Hanbali dalam hal-hal fikah.  Mereka tidak mendalami ilmu untuk akhirnya menemukan bahawa Syiah sudah terkeluar habis daripada Islam dan bisa disebut satu agama lain. 

Syiah adalah satu agama politik, sangat berasaskan kepada hak-hak kekhalifahan setelah kewafatan Rasulullah, sehingga mereka mengkafirkan sahabat-sahabat yang agung seperti Saidina Abu Bakr, Saidina Umar, Saidina  Usman, Muawiyah termasuk Saidatina A’isyah.  Malah mereka menuduh Saidina Abu Bakr dan Saidina Umar  merancang pembunuhan puteri Rasulullah, Fatimah binti Muhammad Rasulullah s.a.w. Didakwa pula A’isyah seorang penzina!  Itu belum termasuk kaum Syiah mengatakan para imam mereka (Imam 12) jauh lebih mulia berbanding para nabi.  Hal ini disahkan oleh seorang jurucakap Syiah Melayu dalam dialog antaranya dengan ustaz-ustaz yang dianjurkan oleh Jabatan Agama Islam Negeri Perak, awal tahun 2012 ini.

Allah telah reda terhadap para sahabat sebagaimana yang dirakam dalam ayat 18 surah al-Fath (maksudnya), “Sesungguhnya Allah telah reda terhadap orang-orang mukmin yang ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat.”  Ayat ini pengiktirafan kepada para sahabat ketika mereka bersumpah setia kepada Rasulullah s.s.w. dalam Bait ar-Ridhwan sebelum berlakunya Perjanjian Hudaibiyah.  Namun kaum Syiah telah terang-terang melawan firman Allah.

Nikah mut’ah adalah pernikahan yang ditentukan bayarannya untuk satu-satu tempoh tertentu.  Sebagai contoh, Musavi bernikah dengan Hejayah untuk tempoh setahun dengan bayaran RM1,000.  Selepas tempoh setahun, secara automatik pernikahan (perkahwinan) mereka batal dan tidak ada apa-apa ikatan.

Berikut adalah kajian Syeikh Salim bin Ies al-Halili dalam kitab “Mausu’ah al-Manahisy Syar’iyyah fi Syahihis Sunah an-Nabawiyah” mengenai kebejatan akhlak kaum Syiah.

Nikah Mut’ah sudah diharamkan oleh Rasulullah s.a.w. secara mutlak berdasarkan hadis berikut yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Talib, bahawa Rasulullah melarang nikah Mut'ah pada perang Khaibar dan melarang memakan daging keldai  peliharaan.  Diriwayatkan dari ar-Rabi' bin Sabrah al-Juhani, dari ayahnya, bahwa  Rasulullah  melarang nikah mut'ah. Rasulullah bcrsabda (maksudnya),  "Ketahuilah, sesungguhnya nikah mut'ah itu haram mulai sekarang  sampai hari Kiamat. Barangsiapa yang telah memberikan sesuatu (yakni upah), maka janganlah ia mengambilnya kembali."'

Perhatikan bagaimana pendirian kaum Syiah sehingga hari ini mengenai nikah mut’ah itu
Pertama: Mereka jadikan sebagai rukun iman, mereka menyebutkan bahawa  Ja'far ash-Shadiq mengatakan: "Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak mengimani adanya raj'ah dan tidak menghalalkan nikah mut'ah."
(Silakan lihat  Man Laa Yahduruhu al-Faqih (11/148), Wasaail Syiah (IV/438)  dan Tafsir ash-Shaafi (1/347).)

Kedua: Mereka beranggapan bahwa nikah mut'ah merupakan pengganti dari minuman yang memabukkan. Mereka meriwayatkan dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja'far bahwa ia berkata: "Sesungguhnya Allah telah menyayangi kamu dengan menjadikan nikah mut'ah sebagai pengganti bagi kamu dari minuman keras."
(Ar-Raudhah minal Kaafi (halaman 151) dan Wasaail Syi'ah (XIV/438).)

Ketiga: Dan menjanjikan pahala yang sangat besar bagi pelakunya sehingga mereka berkeyakinan bahwa barangsiapa yang melakukan nikah mut'ah empat kali, maka derajatnya (kedudukannya) seperti Rasulullah. Lalu mereka menisbatkan kedustaan ini kepada Rasulullah. Mereka menyebutkan riwayat palsu (Hadis palsu): "Barangsiapa melakukan nikah mut'ah sekali maka derajatnya seperti derajatal-Husein- Barangsiapa melakukan nikah mut'ah dua kali, maka derajatnya seperti derajat al-Hasan. Barangsiapa melakukan nikah mut'ah tiga kali, maka derajatnya seperti derajat 'Ali. Dan barangsiapa melakukan nikah mut'ah empat kali, maka derajatnya seperti derajatku."
(Manhajus Shaadiqin tulisan Fathulllah al-Kaasyaani, halaman 356.)

Diriwayatkan dari al-Hasan bin Zharif, ia berkata: Aku menulis surat kepada Abu Muhammad "Aku telah meninggalkan nikah mut'ah selama tiga puluh tahun kemudian bangkit lagi gairahku untuk melakukannya. Ada seorang wanita di kampungku yang menurut kabarnya sangat cantik. Lalu hatiku tertarik kepadanya. Kamun wanita itu seorang pelacur yang menerima pria-pria hidung belang. Maka aku pun membencinya. Kemudian aku katakan: "Para imam mengatakan nikah mut'ahlah dengan wanita pelacur karena engkau akan mengeluarkannya daripada yang haram kepada yang halal."
Aku menulis surat kepada Abu Muhammad untuk meminta pertimbangan kepadanya dalam masalah mut'ah ini, aku bertanya: "Bolchkah aku nikah mut'ah setelah tahun-tahun ini?" Ia menulis surat jawaban: Sesungguhnya engkau sedang menghidupkan Sunnah dan mematikan bid'ah. Engkau boleh melakukannya."
(kitab Kasyful Gbummab, halaman 307)

Bahkan mereka membolehkan pinjam-meminjam faraj (kemaluan wanita- maaf), wal iyaadzu billah. Hal ini disebutkan dalam buku-buku pegangan mereka, antaranya adalah yang diriwayatkan dari al-Hasan al-'Aththar, ia berkata: "Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah tentang pinjam meminjam faraj (kemaluan wanita), ia menjawab: "Tidak mengapa (boleh saja)." Aku bertanya lagi: "Bagaimana kalau hamil dan melahirkan anak?" Ia bertanya: "Anak itu milik si peminjam kecuali bila ada perjanjian sebelumnya."
(Wasaail Syi'ah (VH7540), Furuu'al-Kaafi (11/48), al-Istibshaar (IH/141) dan at-Tahdiib (11/185).


Tiada ulasan:

Catat Ulasan