Halaman

Sabtu, Jun 15, 2019

TIDAK sunah meraup muka setelah doa

Oleh: Ummu Andhe Sukardi


HUKUM MENGUSAP WAJAH SETELAH BERDOA

Hadits-hadits mengenai mengusap wajah setelah berdoa adalah hadits-hadits yang dhoif (lemah) dan tidak dapat saling menguatkan. Sehingga tidak bisa menjadi sandaran untuk amalan mengusap wajah setelah berdoa. Karena amalan ibadah hanya bisa ditetapkan oleh hadits yang maqbul.

Hal ini sebagaimana diutarakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,

وَأَمَّا رَفْعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ: فَقَدْ جَاءَ فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ صَحِيحَةٌ وَأَمَّا مَسْحُهُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ فَلَيْسَ عَنْهُ فِيهِ إلَّا حَدِيثٌ أَوْ حَدِيثَانِ لَا يَقُومُ بِهِمَا حُجَّةٌ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Adapun mengenai Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam mengangkat tangan dalam berdoa, ini telah diriwayatkan dalam banyak hadits shahih. Sedangkan mengusap wajah, maka tidak ada kecuali satu atau dua hadits saja yang tidak bisa menjadi hujah. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/519)

Ini adalah logika yang cerdas dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pernyataan ini disebutkan dan diperluas lagi oleh Syaikh Al Albani rahimahullah:
“Adapun mengusap wajah (setelah doa) di luar shalat, maka tidak ada hadits kecuali ini dan yang sebelumnya. Dan tidak benar bahwa hadits-haditsnya saling menguatkan dengan banyaknya jalan (sebagaimana dikatakan oleh Al Munawi) karena terlalu beratnya kelemahan yang ada pada jalan-jalannya. Oleh karena itu Imam An Nawawi dalam Al Majmu’  mengatakan: ‘hukumnya tidak disunnahkan‘, juga dikuatkan oleh perkataan Ibnu Abdissalam (ulama Syafi’iyyah): ‘tidak ada yang melakukannya kecuali orang jahil‘.

Dan yang lebih menguatkan lagi bahwa hal tersebut tidaklah disyariatkan adalah bahwasanya mengangkat tangan dalam dia telah ada dalam banyak hadits shahih, namun tidak ada satupun di dalamnya yang menyebukan tentang mengusap wajah. Maka ini insya Allah menunjukkan pengingkaran terhadap perbuatan tersebut dan menunjukkan itu tidak disyariatkan”. (Irwa Al Ghalil, 2/182)

Wallaahu a’lam bisawab.

Ahad, Jun 09, 2019

ORANG mahu agama yang tulen

PADA saat ada barang tulen dan tiruan [kurang berkualiti], orang mantap mahukan yang tulen,  yang asal, kerna diyakini tepat dan sangat bagus. Begitu juga fitrah manusia sesuai untuk mencari kebenaran beragama. Manhaj beragama yang asal,  tulen dan tepat ada pada generasi yang awal.

Rasulullah ﷺ bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik manusia adalah generasiku (iaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (iaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (iaitu generasi tabi’ut tabi’in). [ Riwayat Al-Bukhari]

Barang,  semakin lama diolah atau ditokok tambah atau diperbaiki untuk keperluan zaman. Hal itu memang digalakkan untuk menyelesai masalah hidup manusia. Agama tidak boleh ditokok tambah atau dikurangi. Apa rupa ibadah agama pada jaman Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam itulah yang muktamad hingga akhir zaman.

pada firman Allah Ta’ala,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-redhai Islam itu jadi agama bagimu.” [QS. Al Ma’idah: 3]

Namun,  berdasarkan sejarah agama yang dibawa para Nabi seperti Nabi Ibrahim,  Nabi Musa dan Nabi Isa,  ada manusia yang menokok tambah ajaran agama untuk kepentingan nafsu. Tepat sekali Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam memberi peringatan berkaitan menambah, mengubah suai ibadah atau seumpamanya.

Baginda Rasulullah ﷺ  bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”
[Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]

Sabda baginda ﷺ  lagi

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ﷺ. Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.”
[Riwayat Muslim]

Kesimpulannya,  beragama yang benar adalah mengikuti yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam iaitu zamannya,  sahabat dan selepas sahabat. 

Rabu, Jun 05, 2019

TARAWEH di luar Ramadan?🤔

Sebagian kita bersungguh-sungguh ke masjid untuk bertaraweh, tetapi tidak shalat seperti taraweh setelah tamat Ramadan. Ada yang mengatakan tidak mampu shalat sendiri 23 rakaat dan sebagian berkata, 'kami hanya layak jadi makmum,  takut shalat malam sendiri,  bimbang tak diterima'. Begitulah tinggi tanggapan shalat taraweh ini. Sebenarnya shalat taraweh ini ialah shalat sunat malam. Shalat sunat seperti shalat sunat sebelum atau selepas shalat fardu.

Jika faham begitu,  tidaklah begitu sukar untuk shalat malam setelah tamat Ramadan. Cuma yang afdal,  shalat malam ini dibuat setelah kita tidur,  atau saat bangun awal sebelum masuk waktu Subuh. Jika pada Ramadan,  kita bangun satu jam sebelum Subuh untuk urusan sahur, setelah Ramadan kita bangun waktu yang sama untuk shalat malam.

Mahu baca surah apa? Tidak surah khas dibaca setiap berdiri rakaat. Yang mampu baca surah panjang silakan, yang mampu hanya surah lazim yang pendek, silakan.

Teliti satu hadis daripada riwayat Ibn Umar Radhiallahu anhu,

عَنْ ابْنِ عُمَرَ : " أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى ) " . رواه البخاري(946) ، ومسلم (749)

Maksudnya: Daripada Ibnu Umar,  seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tentang solat malam. Maka Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat, maka apabila kamu berasa bimbang masuknya waktu Subuh bershalatlah satu rakaat sebagai witir daripada shalat yang telah dilakukan tadi."
(Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Daripada hadis itu,  shalat malam itu dibuat pada sebelum waktu Subuh. Jumlahnya satu kali shalat hanya dua rakaat,  dan salam. Jika  mahu buat lagi,  berdirilah dua rakaat lagi. Malah,  jika kesuntukan waktu, sempatnya hanya buat shalat satu rakaat witir,  maka rebutlah.

Wallahu aklam