Halaman

Ahad, Julai 03, 2011

KENDURI Tahlil adat resam kita....

(catatan di bawah merupakan risalah yang saya berikan kepada rakan-rakan di desa. Dalam tempoh sebulan ini padat dengan adat resam yang disangka perintah Allah. )


KENDURI TAHLIL KIRIM ARWAH BUDAYA KITA….

CATATAN ini untuk mereka yang jujur mencari kebenaran di sisi Allah dan rasul-Nya.  Juga, untuk mereka yang menyerah diri kepada kebenaran serta meninggalkan perkara-perkara yang tidak jelas, di samping menjaga sunah Rasulullah.

Maaf tuan-tuan, apakah kenduri tahlil kirim arwah itu sunah nabi atau adat resam Melayu?  Berdasarkan budaya dan pemahaman yang selama ini dipegang, nampaknya kebanyakan kita percaya kenduri tahlil kirim arwah itu adalah ajaran agama.  Jika kenduri arwah yang popular itu ajaran agama Islam, tentulah dalil-dalilnya sangat jelas dalam al-Quran dan hadis-hadis Nabi yang sahih.

Maksud kenduri tahlil kirim arwah itu jelas bentuk bacaan-bacaan beberapa surah dalam al-Quran dan ayat-ayat pilihan lain.  Semua itu dirangkum dinamakan Tahlil Arwah dan bacaan itu pahalanya diniatkan untuk dikirim atau dipindahkan kepada mana-mana arwah keluarga kita.

Mula-mula kita tanya: Adakah pahala dan dosa seseorang boleh dipindah-pindahkan kepada orang lain?  Jika kita kaji dalam agama Kristian, memang jawabannya ‘Ya’.  Dalam Kristian satu akidah utamanya ialah Dosa Warisan iaitu dosa Nabi Adam di syurga diwariskan kepada manusia sehingga seorang yang dinamakan Jesus merelakan dirinya disalib sebagai menebus dosa warisan itu.

Selama ini kita membaca beberapa surah dan ayat al-Quran kemudian pahalanya dikirimkan kepada si mati.  Tujuannya ialah supaya si mati di alam barzakh mendapat faedah daripada bacaan kita di dunia ini.  Adakah perkara yang sebegini penting tidak dijelaskan dalam al-Quran? Adakah agama Islam mengajarkan bahawa dosa dan pahala seseorang boleh diwariskan atau diagih-agihkan kepada orang-orang lain, khasnya kepada orang mati? 

Kita temui ayat 46 surah al-Fushilat bermaksud: Barangsiapa mengerjakan kebajikan, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa berbuat kejahatan maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri.  Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.

Ini bermakna perbuatan memindahkan pahala jelas tidak betul.  Pahala dan dosa tidak boleh dipindah atau dikirimkan kepada sesiapa. Pahala dan dosa adalah tanggungan diri sendiri.  Ayat di atas sangat jelas berlawanan dengan pemahaman kita yang mendakwa pahala boleh dikirim kepada arwah dan si arwah akan mendapat manfaat daripada itu.

Mungkin ada sahabat kita akan mencari dalil akal seperti, “kita buat juga Kenduri Tahlil, biarlah Allah tentukan sama ada Dia hendak terima atau tidak.”  Jika begitu, ertinya kita akan membuatnya juga sekalipun jelas berlawanan dengan firman Allah.  Berdasarkan hadis sahih nabi, perbuatan itu sia-sia atau tidak berguna di sisi Allah.

Maksud sabda Rasulullah: Barangsiapa yang melakukan satu amal ibadah yang bukan daripada suruhan kami, maka ia tertolak.  (Riwayat Muslim)

Lagi maksud sabda Rasulullah: Sesiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami (urusan agama) perkara yang tidak ada padanya, maka ia tertolak. (Riwayat al-Bukhari)

Rasulullah mengatakan amal yang tidak baginda tunjukkan caranya, dan kita membuatnya sendiri, amal itu sia-sia.  Kenduri Tahlil tidak ada contoh dan termasuk dalam perkara sia-sia.  Sia-sia bermakna kosong, tidak ada apa-apa.  Jadi tidak perlulah kita nak buat juga dan membiarkan Allah tentukan sama hendak menerima atau menolaknya.  Tuan-tuan yang budiman, Islam agama yang jelas, bukan dalam proses cuba-cuba lagi!

Mungkin ada sahabat kita memberi komen, “Tahlil ini sudah menjadi kebiasaan umat Islam sejak zaman nenek moyang, tak kanlah mereka salah.”

Keraguan seperti ini pun dijelaskan dalam al-Quran ayat 170 surah al-Baqarah bermaksud: Dan apabila dikatakan kepada mereka ‘ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah’, mereka menjawab ‘(tidak) Kami mengikuti apa yang kami dapati daripada nenek moyang’.  Padahal nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.

Satu kesimpulan penting daripada catatan ini ialah membentuk pendirian sejati seseorang muslim.  Apakah pendirian kita setelah dibuktikan Kenduri Tahlil itu berlawanan dengan al-Quran dan sunah nabi?  Allah mengajar kita dalam surah al-Ahzab ayat 36.

Maksudnya:  Dan tidaklah sepatutnya bagi lelaki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan lain bagi mereka tentang urusan itu.  Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.

Ayat 51 surah an-Nur pula (maksudnya): Sesungguhnya perkataan yang diucapkan oleh orang-orang yang beriman ketika mereka diajak kepada kitab Allah dan sunah rasul-Nya sebagai hakim memutuskan perselisihan di antara mereka, iaitu mereka berkata ‘Kami dengar dan taat’.  Mereka itulah  yang mendapat kejayaan.

wallahuaklam



11 ulasan:

  1. bagaimana dengan doa anak yang soleh

    BalasPadam
  2. doa anak..OK. baca quran dan pahala dikirimkan ke arwah, itu bukan doa. doa lebih kurang beginilah: Ya Allah ampuni semua dosa ibu dan bapaku. harap faham.

    BalasPadam
  3. Komen wajib baca.
    Untuk persoalan ini diharap Tuan NURUL MUBIN SIRAJ dan semua dapat membaca komentar dari Sm Salim Klang dalam entri ' JANGAN marah haa, kenduri arwah hanya adat Melayu.' dibawah label: fikrah.

    BalasPadam
  4. Tuan NURUL MUBIN SIRAJ berkata..
    ' doa anak..OK. baca quran dan pahala dikirimkan ke arwah, itu bukan doa. doa lebih kurang beginilah: Ya Allah ampuni semua dosa ibu dan bapaku. harap faham.'
    Tuan.....
    Bagaimana dengan hujah ini?
    Hadits tentang wasiat Ibnu Umar ra yang tertulis dalam syarah Aqidah Thahawiyah hal. 458 :
    عَنِ إبْنِ عُمَر(ر) أوْصَى أنْ يُقْرَأ عَلَى قَبْرِهِ وَقْتَ الدَفنِ بِفَوَاتِحِ سُوْرَةِ البَقَرَةِ وَخَوَاتِمِهَا
    “Dari Ibnu Umar ra : “Bahwasanya beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awal-awal surat al-Baqarah dan akhirnya..”.
    “Dari Ibnu Umar ra: “Bahwasanya beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awal-awal surat al-Baqarah dan akhirnya..”.
    Hadits ini menjadi pegangan Muhammad bin Hasan dan Imam Ahmad bin Hanbal padahal Imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala amalan dari orang yang hidup pada orang yang telah mati. Namun setelah beliau mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat Ibnu Umar ini beliaupun mencabut pengingkarannya itu (Mukhtasar Tazkirah Qurtubi hal. 25).
    Ada hadits yang serupa dalam Sunan Baihaqi dengan isnad Hasan:
    “Bahwasanya Ibnu Umar menyukai agar dibaca diatas pekuburan sesudah pemakaman awal surat Al-Baqarah dan akhirnya”.
    Perbedaan dua hadits terakhir diatas ialah yang pertama adalah wasiat Ibnu Umar sedangkan yang kedua adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
    Hadits dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulallah saw.bersabda :”Jika mati seorang dari kamu, maka janganlah kamu menahannya dan segeralah membawanya kekubur dan bacakanlah Fatihatul Kitab disamping kepalanya”. (HR. Thabrani dan Baihaqi)
    Abu Hurairah ra.meriwayatkan bahwasanya Nabi saw. bersabda :
    “Barangsiapa yang berziarah di kuburan, kemudian ia membaca ‘Al-Fatihah’, ‘Qul Huwallahu Ahad’ dan ‘Alhaakumut takatsur’, lalu ia berdo’a Ya Allah, kuhadiahkan pahala pembacaan firman-Mu pada kaum Mu’minin dan Mu’minat penghuni kubur ini, maka mereka akan menjadi penolong baginya (pemberi syafa’at) pada hari kiamat”.
    Hadits-hadits diatas atau hadits-hadits lainnya dijadikan dalil yang kuat oleh para ulama untuk menfatwakan sampainya pahala pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang telah wafat. Apa mungkin para sahabat Nabi seperti Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah [ra] mengeluarkan kata-kata yang mengandung ilmu gaib (yaitu mengenai imbalan pahala) tidak dari Rasulallah saw. atau meriwayatkan sesuatu amalan yang berbau kesyirikan atau larangan dalam agama Islam? Mereka berdua adalah termasuk salah satu tokoh dari golongan Salaf Sholeh, mengapa golongan pengingkar ini menolaknya ?

    BalasPadam
  5. Imam Nawawi dalam Syahrul Muhadzdzib mengatakan: ‘Disunnahkan bagi orang yang berziarah kekuburan membaca beberapa ayat Al-Qur’an dan berdo’a untuk penghuni kubur’.
    Imam Nawawi menyimpulkan bahwa membaca Al-Qur’an bagi arwah orang-orang yang telah wafat dilakukan juga oleh kaum Salaf (terdahulu). Pada akhirnya Imam Nawawi mengutip penegasan Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad bin Taimiyah (Ibnu Taimiyyah) sebagai berikut :
    “Barangsiapa berkeyakinan bahwa seorang hanya dapat memperoleh pahala dari amal perbuatannya sendiri, ia menyimpang dari ijma’ para ulama dan dilihat dari berbagai sudut pandang keyakinan demikian itu tidak dapat dibenarkan”.
    Juga keterangan singkat yang diungkapkan seorang ulama terkemuka di Indonesia Ustadz Quraish Shihab dalam bukunya Fatwa-fatwa Seputar ibadah dan Muamalah halaman 27 mengenai ‘berdo’a dan membacakan Al-Qur’an untuk orang mati’ adalah sebagai berikut :
    “Berdo’a untuk kaum Muslimin yang hidup atau yang sudah wafat adalah anjuran agama. Membaca Al-Qur’an juga merupakan salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Hanya saja, terdapat perbedaan paham di kalangan para ulama masalah bermanfaat atau tidaknya bacaan itu bagi orang yang telah wafat. Memang, dalam kitab-kitab hadits, ditemukan yang menganjurkan pembacaan Al-Qur’an bagi orang yang akan atau telah wafat. Diantara- nya, Abu Dawud meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Ma’qil bin Yasar, menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Bacalah surat Yaa Sin untuk orang-orang yang (akan atau sudah) mati (dari kaum Muslim)’.
    Nilai keshohihan hadits diatas ini dan semacamnya masih ada yang memper selisihkannya. Sekalipun ada golongan yang mengatakan hadits-hadits tersebut lemah atau tidak ada sama sekali tidak ada halangan untuk membaca ayat Al-Qur’an bagi orang yang akan wafat atau telah wafat. Dikalangan para ulama hadits, dikenal kaidah yang menyatakan bahwa hadits-hadits yang tidak terlalu lemah dapat diamalkan khususnya dalam bidang fadhail (keutamaan) !
    Akan bersambung.........

    BalasPadam
  6. Para Ulama juga menyatakan bahwa membaca Al-Qur’an pada dasarnya dibenarkan oleh agama dan mendapat pahala, bila (kecuali orang yang sedang junub/haid–pen.) dan dimanapun berada (kecuali di dalam tandas–pen.). Diantara perselisihan ulama itu adalah ‘Apakah dapat diterima hadiah pahala bacaan tersebut oleh almarhum atau tidak! (Jadi bukan masalah pembacaannya! –pen.)
    Syekh Muhammad Al-Syarabashi dalam bukunya Yas’alunaka mengutip pendapat Al-Qarafi dalam kitab Al-Furuq bahwa kebaikan yang dilakukan seseorang untuk orang lain yang telah meninggal mencakup tiga kategori :
    a). Disepakat tidak bermanfaat: memberi pahala keimanan kepada orang yang telah wafat.
    b). Disepakati bermanfaat: seperti shodaqah yang pahalanya diberikan kepada orang telah wafat.
    c) Diperselisihkan apakah bermanfaat atau tidak: seperti menghajikan, berpuasa dan membaca Qur’an untuk orang yang telah meninggal.
    Sementara madzhab Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, berpendapat pahalanya dapat diterima oleh yang telah mati. Kemudian Imam Al-Qarafi yang bermadzhab Maliki ini menutup keterangannya bahwa persoalan ini (pahala untuk yang wafat), walaupun diperselisihkan, tidak wajar untuk ditinggalkan dalam hal pengamalannya. Sebab, siapa tahu, hal itu benar-benar dapat diterima oleh orang yang telah wafat, karena yang demikian itu berada diluar jangkauan pengetahuan kita.
    Perbedaan pendapat terjadi bukan pada hukum boleh tidaknya membaca Al-Qur’an untuk orang yang akan atau telah wafat, melainkan pada kenyataan sampai tidaknya pahala bacaan itu kepada si mayit!“ Demikianlah keterangan yang diungkapkan oleh Ustadz Quraish Shihab dalam bukunya ‘Fatwa-fatwa seputar ibadah dan muamalah’.

    Akan bersambung............

    BalasPadam
  7. Untuk mempersingkat halaman, penulis ingin mengutip sebagian saja nama ulama-ulama pakar dan kitab mereka yang mengakui sampainya hadiah pahala bacaan yang ditujukan untuk si mayit diantaranya sebagai berikut:
    “Imam Ahmad bin Hanbal; ulama-ulama dalam madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i; Muhammad bin Ahmad al-Marwazi dalam kitab Hujjatu Ahli Sunnah Wal-Jama’ah hal.15 ; Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil Iz (Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 457); Dr. Ahmad Syarbasi ( Yasaluunaka fid din wal-hayat 3/413 ); Ibnu Taimiyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442 ) ; Ibnul Qayyim al-Jauziyyah (Yasaluunaka fid din wal-hayat jilid 1/442) juga Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh mengatakan bahwa “Al-Khallal dalam kitabnya Al-Jami’ “ sewaktu membahas ‘Bacaan disamping kubur’ ; Al-Allamah Muhammad al-Arobi (Majmu’ Tsholatsi Rosaail ) ; Imam Qurtubi ( Tazkirah Al-Qurtubi hal. 26 ) ; Imam Sya’bi mengatakan: ‘Orang-orang Anshor jika ada diantara mereka yang wafat, maka mereka berbondong-bondong kekuburnya sambil membaca Al-Qur’an disampingnya (kuburan nya)’. Ucapan Syekh Sya’bi ini dikutip oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ar-Ruh halaman 13; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa.
    Dan masih banyak lagi ulama-ulama berbeda madzhab yang membenarkan hadiah pahala bacaan ini. Jadi jelas bagi kita setelah membaca dan meneliti kutipan pada lembaran sebelum dan berikut ini banyak hadits Nabi saw. serta anjuran para sahabat dan ulama-ulama pakar tentang dibolehkannya serta sampainya pahala amalan orang yang masih hidup ditujukan kepada si mayyit. Disamping itu, semua madzhab sepakat bahwa pembacaan Al-Qur’an akan mendapat pahala bagi pembacanya bila dan dimanapun, yang mana pahala itu selalu diharapkan oleh setiap muslim.
    Kita tidak boleh langsung menuduh semua amalan yang (menurut pendapat sebagian ulama) haditsnya terputus, lemah, palsu, atau tidak ada haditsnya dan sebagainya itu haram untuk diamalkannya. Kita harus meneliti lebih jauh lagi bagaimana pendapat ulama lainnya dan harus meneliti apakah amalan tersebut menyalahi atau keluar dari syariat yang telah digariskan Islam atau tidak ?, bila tidak menyalahi syari’at Islam, boleh dijalankan ! Apalagi amalan-amalan yang masih mempunyai dalil maka tidak ada alasan orang untuk mengharamkan, mensesatkan atau membid’ahkan sesat amalan-amalan tersebut karena tidak sependapat dengan mereka, menghukum suatu amalan sebagai haram, harus mengemukakan dalil yang jelas dan shohih dari Rasulallah saw.
    Cukup buat sementara......akan bersambung jika ada hujah menidakkannya.

    BalasPadam
  8. Saya berterima kasih kepada Tuan Ishak kerna membantu saya menambah ilmu. Dengan bacaan meluas tuan terhadap semua kitab daripada ulama2 berkenaan, selayaknya tuan dikenal sebagai bahrul ilm. Dan saya sangat berbangga orang sehebat tuan sanggup membaca catatan orang kampung yang sekolahnya tidak setinggi mana pun.

    Saya berbesar hati sekiranya Tuan Ishak dapat membantu saya memahami maksud ayat-ayat Allah seperti di bawah. Mungkinkah saya salah salin maksudnya atau memang saya tersalah faham maksud ayat2 itu. Apa yang saya faham begitulah, kalau saya membaca yasin maka pahalanya dapat kepada saya, bukan kepada orang lain. Kalau saya tersilap dan berdosa, dosa itu pun tertanggunglah pada saya.

    Orang agama pun kerap menasihati orang awam seperti saya agar berbuat amal sewaktu hidup kerna setelah mati hanya amalan sendiri yang menjadi bekal.

    Silakan Tuan....

    Maksud ayat 46 surah al-Fusilat, “Barang siapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.”

    Maksud ayat 281 surah al-baqarah, “Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah*. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan).”
    *Apabila seseorang mati, itulah saatnya bermula seseorang dikembalikan kepada Allah.

    Maksud ayat 123 surah al-Baqarah, “Dan takutlah kamu pada hari (ketika) tidak seorang pun dapat menggantikan (membela) orang lain sedikit pun, tebusan tidak diterima, bantuan tidak berguna baginya, dan mereka tidak akan ditolong.”

    Maksud ayat 54 surah Yasin, “Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit pun dan kamu tidak akan diberi balasan, kecuali sesuai dengan apa yang telah kamu kerjakan.”

    BalasPadam
  9. 1. Adakah Nabi dan para sahabat yang menghadiri walimah Aqiqah mesti duduk, Nabi atau sahabat jadi tekong untuk buat majlis tahlil (meratip) arwah sebelum makan.
    Ini yang berlaku semasa saya hadir walimah aqiqah di negeri Kedah. Yang buat Tok Imam dan orang selalu solat di Masjid (balik solat Jumaat).Hampir semua kenduri orang Melayu tok aji tok lebai mesti buat majlis doa,tahlil arwah.

    2. Bolehkah amalan sunnah aqiqah (hari ke 7, sembelih kambing, cukur rambut dan timbang nilai perak, tahnik, beri nama anak) dicampur amalan bid'ah Tahlil Arwah?

    2. Apakah kaifiat Tahlil yang dicetak sebar bersama buku-buku Yasiin diamalkan dizaman Nabi dan sahabat?

    BalasPadam
  10. wahai saudara-saudaraku, janganlah kamu hanya memperincikan sebhagaian sahaja daripada sumbernye (al-quran & hadis) sedangkan yang sebahagian itu masih lagi bersangkutan dengan nas yang lain..... selamilah al Quran dan hadis... islam itu mudah, isalam itu indah, islam itu sempurna.....

    BalasPadam
  11. selagi ayat2 alquran berkenaan tetap bermaksud 'setiap amal atau perbuatan sendiri maka dialah yang memiliki pahala atau dosanya (arti lain, pahala dan dosa bukan bisa diwaris-wariskan), selagi itulah saya dan beberapa teman faham kata2 ulama atau hujah apa pun yang membenarkan pemindahan pahala...itu semua ditolak. Apa nak buat tuan2...sudah Allah memberitahu begitu, kecuali yang tidak setuju dapat memberikan dalil yang mengatasi maksud ayat2 yang saya keluarkan.

    BalasPadam