Pengikut

Rabu, Mac 26, 2014

AHLUS Sunah bukan pengganas

TENTANG tuduhan terorisme yang diarahkan kepada Salafiyin, Syaikh Dr. Muhammad bin Musa Alu an Nashr memberikan tanggapan:

Saya (Syaikh Dr. Muhammad bin Musa Alu an Nashr, Red) katakan :

Orang yang menuduh kita sebagai teroris, ia termasuk ahlul ghuluw (berlebih-lebihan dalam tuduhannya). Ia tidak mengerti dakwah salafiyah. Dakwah salafiyah adalah dakwah Islam. Dakwah salafiyah adalah dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya [1]. Namun demikian, tidak boleh seorang salafi (siapapun orangnya) menganggap dirinya berakhlak seperti akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau akhlak para sahabatnya.

Dakwah salafiyah berdiri di atas aqidah yang benar, aqidah yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya berkeyakinan dengannya. Dakwah salafiyah tegak di atas manhaj (jalan, metode, tata cara) Islam yang benar dan lurus, berdiri di atas dalil. Dakwah ini benar-benar mengagungkan as salaf ash shalih (generasi terdahulu yang shalih), dari kalangan para sahabat dan tabi’in. Dakwah ini mengagungkan dan menghormati dalil, (berupa) firman Allah dan (sabda) RasulNya, tidak mengutamakan dan mengedepankan perkataan siapapun (di atas perkataan Allah dan RasulNya) betapapun tinggi derajat dan kedudukan orang itu. Dakwah salafiyah menyeru kepada Allah, kepada ajaran Islam yang benar, seimbang dan adil. Menyeru kepada kelemah-lembutan dan menolak kekerasan. Maka, menuduh dakwah salafiyah sebagai terorisme adalah dusta!

Karena, siapakah yang benar-benar menentang para teroris dan takfiriyin (orang-orang yang sangat mudah mengafirkan orang lain tanpa sebab yang haq) saat ini?

Siapakah mereka kalau bukan para ulama dakwah salafiyah? Mereka, yang pada zaman ini dikenal sangat gigih membela dan berdakwah dengan dakwah salafiyah ini. Yang paling dikenal di antara mereka, seperti al Imam al Muhaddits asy Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, kemudian asy Syaikh al ‘Allaamah Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baaz, asy Syaikh al ‘Allaamah Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin. Kemudian murid-murid al Imam al Muhaddits asy Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, dan murid-murid mereka semua.

Merekalah yang jelas-jelas nyata paling menentang dan membantah pemikiran terorisme ini, baik dengan tulisan-tulisan di dalam kitab-kitab mereka, kaset-kaset kajian ilmiah mereka, dan dari seputar kajian-kajian ilmiah mereka secara langsung. Hal ini diketahui oleh setiap munshif (orang yang adil dalam menghukumi).

Adapun mukabir (orang yang sombong dan keras kepala) dan orang yang mendustakan kenyataan mereka semua, maka sesungguhnya dia merupakan generasi (pelanjut) dari tokoh-tokoh (penentang) terdahulu, (yaitu orang-orang) yang menuduh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai tukang sihir, orang gila, pemalsu dan pembuat al Qur`an, pendusta. Mereka hanya menuduh, menuduh, dan terus menuduh (tanpa haq dan bukti yang benar).

Namun inilah taqdir para nabi, mereka selalu didustakan oleh sebagian umatnya. Allah berfirman:

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ فَصَبَرُواْ عَلَى مَا كُذِّبُواْ وَأُوذُواْ حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا.

Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka. [al An’am : 34].

Oleh karena itu, demikianlah keadaan para da’i yang berdakwah kepada Allah, keadaan para penuntut ilmu agama. Mereka akan selalu mendapatkan halangan dan rintangan serta hambatan dari orang-orang sesat, ahli bid’ah, dan orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah. Mereka akan disakiti oleh para penentang itu.

Para ahli bid’ah, orang-orang sesat, dan orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah, (mereka) tidak akan pernah berhenti melancarkan usaha-usaha keji (yang mereka buat), berupa provokasi, menaburkan bibit-bibit pertikaian dan permusuhan di kalangan masyarakat, sehingga para da’i yang ikhlas berdakwah kepada Allah dan para penuntut ilmu agama, (mereka) akan selalu mendapatkan rintangan ini.

Ada dua pondok pesantren yang bermanhaj salaf di sebuah pulau. Setelah para ahli bid’ah, orang-orang sesat, dan orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah ini mengetahui keberadaan dua pondok pesantren ini, mereka segera menghasut masyarakat setempat, dan akhirnya merekapun berhasil menghancurkan dan memporakporandakan ke dua pondok pesantren ini.

Tidak ada yang memacu mereka untuk melakukan tindakan keji ini, melainkan hasad, dengki dan kebencian yang membakar dada-dada mereka terhadap para da’i dan para penuntut ilmu agama yang benar dan lurus.

Demikianlah, karena orang sesat memang tidak akan pernah mencintai kebenaran dan ahlinya!

Betapapun demikian, orang-orang yang berpegang teguh dengan manhaj salaf, pasti akan tetap selalu ada. Mereka selalu konsisten di atas prinsipnya dalam berdakwah. Tidak berpengaruh tindakan-tindakan orang yang berusaha berbuat madharat terhadap mereka, juga orang-orang yang menyelisihi mereka, seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ.

Akan tetap ada sekelompok dari umatku yang muncul di atas al haq (kebenaran), tidak membahayakan mereka orang-orang yang meninggalkan (tidak mempedulikan mereka) sampai datang urusan dari Allah, sedangkan mereka tetap demikian [2].

Dan golongan ini, para ulama telah menafsirkan, bahwa mereka adalah ahlul hadits dan ahlul atsar (yaitu orang-orang yang konsisten mengikuti hadits-hadits dan jejak para as salaf ash shalih).

Maka, saya nasihati setiap muslim, hendaknya ia menjadi seorang salafi. Saya nasihati setiap muslim, hendaknya ia menjadi seorang salafi [3]. Hendaknya setiap muslim bermanhaj, seperti apa yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebuah manhaj yang tidak berpihak kepada personal tertentu, atau kepada jamaah-jamaah tertentu.

As salafiyah bukanlah bayi perempuan yang baru terlahir sekarang. Bukan pula sebuah organisasi yang baru didirikan saat ini. As salafiyah adalah ajaran yang turun dari Allah, berupa wahyu yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada putrinya Fathimah [4] Radhiyallahu 'anha tatkala ia meninggal dunia :

اِلْحَقِيْ بِسَلَفِنَا الصَّالِحِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُوْنٍ.

Bergabunglah bersama pendahulu kita yang shalih, Utsman bin Mazh’un.[5]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata (yang maknanya): “Bukan (merupakan) aib, jika seseorang menisbahkan (menyandarkan) dirinya kepada salaf, karena manhaj salaf adalah (manhaj yang) a’lam (lebih berilmu), ahkam (lebih bijak dan berhukum), dan aslam (lebih selamat)”.

Karena jika tidak demikian, bagaimana kita bisa merealisasikan
مَا أَناَ عَلَيْهِ وَأَصَحَابِيْ ?!

Lihatlah! Sekarang banyak jamaah dengan bermacam-macam pola mereka, ada yang ke barat, ada yang ke timur. Semuanya mengikuti jalannya masing-masing yang berbeda-beda. Kecuali, hanya dakwah salafiyah yang diberkahi Allah ini. Golongan inilah yang tetap konsisten berpegang teguh kuat-kuat dengan apa yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya berada di atasnya.

Oleh karena itu, saya memohon kepada Allah agar mereka -baik para da’i, para penuntut ilmu, dan orang-orang yang bermanhaj salaf ini- senantiasa diberikan kemudahan dan keutamaan dariNya, dan agar mereka dijadikan olehNya generasi-generasi terbaik pewaris mereka. Sesungguhnya Allah-lah yang berkenan mengabulkan do’a ini dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Tidaklah ada seorang yang menentang dakwah yang haq ini, melainkan Allah pasti akan membinasakannya. Karena Allah akan selalu membela orang-orang yang beriman (yang membela agamaNya).

Karenanya, seluruh model dakwah apapun (di muka bumi ini) yang berusaha menghalang-halangi, menentang, dan merintangi dakwah salafiyah, usaha mereka pasti sia-sia dan gagal. Bahkan yang mereka dapatkan hanyalah kerugian dan penyesalan. Sedangkan Allah senantiasa membela dan menolong dakwah salafiyah ini, karena Allah pasti akan menolong orang-orang yang membela agamaNya, sebagaimana firmanNya:

وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ.

Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. [al Hajj : 40].

Demikianlah, akhirnya saya cukupkan jawaban saya sampai di sini. Saya berharap bisa bertemu dengan kalian pada kesempatan yang lain, insya Allah.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Berdasarkan hadits iftiraqul ummah (perpecahan umat) yang shahih dan masyhur, yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (4/197-198 no. 4596 dan 4597), at Tirmidzi (5/25-26 no. 2640 dan 2641), Ahmad (2/332, 3/120 dan 145, 4/102), Ibnu Majah (2/1231-1232 no. 3991-3993), dari hadits Abu Hurairah dan Auf bin Malik c , dan lain-lain, yang di salah satu lafazh akhir hadits-haditsnya adalah:

((
وَهِيَ الْجَمَاعَةُ))، ((مَا أَناَ عَلَيْهِ وَأَصَحَابِيْ)).

“Mereka adalah al Jama’ah” dan “(Yaitu) mereka seperti apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”.

Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani t di dalam ash Shahihah (3/480) dan kitab-kitab beliau lainnya.
[2]. HR Muslim (3/1523 no. 1920) dari hadits Tsauban Radhiyallahu 'anhu, dan yang semakna dengannya diriwayatkan oleh al Bukhari (2/2667 no. 6881) dari hadits al Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu 'anhu, dan lain-lain.
[3]. Syaikh Dr. Muhammad bin Musa Alu an Nashr memang mengulangi kata-katanya ini dua kali.
[4]. Demikian yang Syaikh Dr. Muhammad bin Musa Alu an Nashr sampaikan. Mungkin yang beliau maksud adalah Ruqayah binti Rasulillah Radhiyallahu 'anhuma, karena Fathimah Radhiyallahu 'anha meninggal sekitar setengah tahun setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, sebagaimana yang telah diketahui dan telah banyak keterangannya di dalam kitab-kitab tarajim (biografi) para sahabat. Lihat Taqrib at Tahdzib, hlm. 1367, no. 8749.
[5]. HR ath Thabrani di dalam al Mu’jam al Ausath (6/41 no. 5736) dan lain-lain. Hadits ini pernah diucapkan pula oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika putri beliau Zainab meninggal, sebagaimana dalam Musnad al Imam Ahmad (1/237 dan 335 no. 2127 dan 3103) dan lain-lain. Juga ketika putra beliau Ibrahim meninggal, sebagaimana dalam al Mu’jam al Kabir (1/286 no.837) dan lain-lain.

Al Imam adz Dzahabi di dalam Siyar A’lam an Nubala (2/252), beliau membawakan biografi Ruqayah Radhiyallahu 'anha, beliau menghukumi hadits ini dan berkata: “Munkar”.

Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali -hafizhahullah- di dalam kitabnya (Basha-iru dzawi asy Syaraf bi Marwiyati Manhaj as Salaf), hlm 18, berkata: “Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sabdanya kepada putri beliau Ruqayah, tatkala ia meninggal…,” lalu beliaupun (Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali) membawakan hadits ini. Kemudian beliau komentari pada catatan kaki: “Dha’if, dikeluarkan oleh al Imam Ahmad (1/237 dan 335), dan Ibnu Sa’ad di dalam ath Thabaqat (8/37), dan hadits ini dipermasalahkan oleh syaikh kami -rahimahullah- di dalam adh Dha’ifah (no. 1715), karena terdapat (di sanadnya) Ali bin Zaid bin Jud’an”.

Dan Ali bin Zaid bin Jud’an adalah perawi yang dha’if. Lihat Taqrib at Tahdzib, hlm. 696, no. 4768.

Atau, mungkin yang dimaksud oleh beliau (Syaikh Dr. Muhammad bin Musa Alu an Nashr) adalah justru perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada putri beliau Fathimah Radhiyallahu 'anha ketika beliau (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) menjelang wafat. Jika ini yang dimaksud, maka haditsnya adalah muttafaq ‘alaih, dikeluarkan oleh al Bukhari (5/2317 no. 5928) dan Muslim (4/1904 no. 2450) dari A’isyah Radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

...
فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ ...

Sesungguhnya aku adalah sebaik-baik pendahulu bagimu.

Dan lafazh hadits ini lafazh Shahih Muslim.
Lihat pula kitab Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali lainnya yang berjudul Limadza Ikhtartu al Manhaj as Salafi, hlm. 30. Wallahu a’lam.

sumber: http://almanhaj.or.id/content/3084/slash/0/ahlus-sunnah-dan-terorisme/  

Jumaat, Mac 21, 2014

MENCINTAI Nabi wajib pula membenci bid'ah!

MAJLIS-majlis memperingati Nabi s.a.w. memang banyak.  Yang agung ialah Maulidur rasul. Maka pelbagai pula pengisiannya,  tetapi matlamatnya tetap satu: Mencintai Rasulullah s.a.w. nabi akhir zaman. Mencintai Nabi dan kemudian menuruti ajaran baginda telah jelas dalam al-Quran dan hadis-hadis sahih.

benar mencintai sunah nabi dan menolak bid'ah?

Bahawa Nabi s.a.w. merupakan tauladan terbaik kepada manusia yang mahu beriman kepada Tuhan yang satu. Ayat 21 surah al-Ahzab (maksudnya), “Demi sesungguhnya bagi kamu pada diri Rasulullah adalah contoh ikutan yang baik untuk orang yang sentiasa mengharap (keredaan) Allah dan (balasan baik) pada hari akhirat, dan dia banyak menyebut serta mengingati Allah (setiap saat senang atau sukar).”  Mencontohi baginda Nabi s.a.w. adalah dalam hal keagamaan. Hal keduniaan yang senantiasa berubah itu,  asas-asas ajaran baginda Nabi s.a.w. tetap menjadi panduan atau ikutan.  Miisalnya dalam soal kepemimpinan, maka kejujuran atau amanah yang ditunjukkan oleh baginda Nabi s.a.w. menjadi ikutan orang yang mahu mendapat keredaan Allah.

Kemudian, orang yang mencintai baginda Nabi s.a.w. tidak ada hak untuk memilih beberapa bab ajaran baginda Nabi s.a.w. dan melupakan pula bab-bab yang tidak bersesuaian dengan kehendaknya. Kalau memang sudah mahu mendapat reda Allah, maka sikapnya ‘dengar dan patuh’. Maksud ayat 51 surah Al-Nuur, “Sesungguhnya perkataan yang diucapkan oleh orang-orang yang beriman ketika mereka diajak kepada kitab Allah dan sunah Rasul-Nya sebagai hakim  memutuskan perselisihan antara mereka, mereka berkata ‘kami dengar dan taat’.  Mereka itulah orang-orang yang mendapat kejayaan.”

‘Dengar dan taat’ berarti menyerah diri tanpa soal.  Menyerah dan menerima  dengan melupakan kepentingan diri, sejarah, adat budaya atau kekeluargaan. Maksudnya, jika beberapa hal itu berselisih dengan aturan Allah dan rasul-Nya, maka atas sifat ‘dengar dan taat’ mereka lebih mengutamakan aturan Allah dan rasul-Nya.

Hal dengar dan taat ini telah berlaku juga pada zaman hidup baginda Nabi s.a.w.  Ada seorang yang mahu pendapatnya diiktiraf berbanding orang lain, lalu meminta pengiktirafan daripada baginda Nabi s.a.w.  Namun Baginda Nabi s.a.w. tidak mengiktiraf pendapatnya.  Maksudnya pendapatnya menyalahi keputusan Nabi s.a.w. yang mendapat bimbingan wahyu Allah.  Lalu orang itu menemui sahabat Nabi iaitu Abu Bakr, namun Abu Bakr bersikap seperti baginda Nabi s.a.w. Lalu orang itu menemui pula sahabat Nabi yang lain, Umar al-Khattab.  Bagi Umar mudah saja, jika tidak mahu menuruti keputusan baginda Nabi s.a.w., artinya tidak akur kehendak Allah juga. Jawabnya, mati lebih baik!  Dengan keputusan Umar yang membunuh orang berkenaan, tindakan Umar itu diiktiraf pula oleh Allah dengan menurunkan ayat 65 surah An-Nisa’ “Maka demi Tuhanmu (wahai Muhammad), mereka tidak beriman sehingga mereka menjadikan engkau sebagai hakim dalam mana-mana perselisihan yang timbul antara mereka.  Kemudian mereka tidak keberatan dalam hati daripada apa yang engkau hukumkan dan mereka menerima keputusan itu dengan sepenuhnya.”

Mencintai baginda Nabi bermakna mengamalkan sunah baginda.  Menjaga sunah baginda Nabi bermakna membenci apa yang menyalahi sunah baginda iaitu rekaan-rekaan baru dalam beragama.  Bagaimana mungkin seseorang menyatakan cinta kepada Nabi namun rela hati terhadap rekaan beragama yang sangat jelas mencabar keabsahan ajaran baginda Nabi s.a.w.

Antara cabaran dalam usaha mencintai sunah baginda Nabi s.a.w. ialah menerangkan kepada masyarakat adanya rekaan beragama, yang menjadikan agama bercampur aduk antara yang tulen daripada baginda Nabi dengan yang direka-reka oleh pencinta bid’ah hasanah. Sebenarnya campur-aduk agama yang tulen dengan yang palsu (rekaan atau bid’ah) telah berlaku kepada hampir semua ajaran para nabi Allah.  Amalan Haji yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim juga ditokok tambah oleh manusia selepas kewafatan nabi itu.  Akidah triniti dalam agama Nasrani juga merupakan rekaan baru atau bid’ah dibandingkan dengan ketulenan ajaran Nabi Isa a.s.


Rekaan-rekaan agama atau bid’ah dikatakan bertujuan baik, iaitu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.  Itulah jawaban pendukung akidah triniti dalam agama Nasrani.  Begitu jugalah jawaban pengamal bid’ah dalam Islam: Perkara baru yang baik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Namun itulah yang ditolak demi menjaga sunah Nabi dan sebagai bukti mencintai Nabi s.a.w. 

Isnin, Mac 10, 2014

'BOLEH membuat ibadah baru sebab baik dan tujuannya baik'

KEPADA  yang berpegang prinsip ‘boleh melakukan bentuk ibadah baru disebabkan baik dan  tujuannya pun baik’ di bawah ada hadis sebagai panduan bagaimana para Sahabat Rasulullah s.a.w. bertindak demi menjaga ketulenan agama yang dibawa oleh baginda Rasulullah s.a.w.

hanya hiasan

Menurut Abu Salamah: (maksudnya) Kami sedang duduk di hadapan pintu rumah Abdullah bin Mas’ud sebelum solat Subuh.  Apabila dia keluar, kami akan berjalan bersamanya ke masjid.

     Kemudian datang kepada kami Abu Musa al-Asy’ari lalu bertanya, “Adakah Abu Abdul Rahman (gelaran kepada Abdullah bin Mas’ud) telah keluar.”

     Kami menjawab, “tidak.”

     Maka dia pun duduk bersama kami sehingga Abdullah bin Mas’ud keluar.

     Apabila dia (Abdullah bin Mas’ud) keluar, kami semua bangun menuju kepadanya. Abu Musa al-Asy’ari bertanya kepadanya, “Wahai Abu Abdul Rahman, aku telah melihat di masjid tadi satu perkara yang aku tidak bersetuju, tetapi aku menganggapnya, alhamdulullah,  melainkan baik.”

     Dia (Abdullah bin Mas’ud) bertanya, “apakah perkara tersebut?”

     Kata Abu Musa al-Asy’ari, “jika panjang umurmu, engkau akan melihatnya.  Aku melihat satu puak duduk dalam satu halaqah (bulatan) menunggu waktu solat.  Setiap halaqah diketuai seorang lelaki, di tangan mereka ada anak-anak batu.  Apabila lelaki itu berkata ‘bertakbir (Allahu akbar) 100 kali’ maka mereka pun bertakbir 100 kali.  Apabila dia berkata ‘bertahlil’ (Laa ilaha illallaah) 100 kali’ maka mereka pun bertahlil 100 kali.  Apabila dia berkata ‘bertasbih (Subhanallah) 100 kali’ maka mereka pun bertasbih 100 kali.”

     Abdullah bin Mas’ud bertanya, “Apa yang engkau katakana kepada mereka?”

     Jawab Abu Musa al-Asy’ari, “Aku tidak berkata kepada mereka apa-apa kerna menunggu pandangan dan perintahmu.”

     Maka kata Abdullah bin Mas’ud, “mengapa engkau tidak perintahkan mereka menghitung dosa dan engkau memberi jaminan bahawa pahala mereka tidak akan hilang sedikit pun.”

     Kemudian beliau (Abdullah bin Mas’ud) berjalan dan kami pun berjalan bersamanya. Kami bergerak sehingga tiba di salah satu halaqah berkenaan.  Lantas Abdullah bin Mas’ud berkata, “Apa yang sedang kamu lakukan?”

     Mereka (dalam halaqah itu) menjawab, “Wahai Abu Abdul Rahman, anak-anak batu ini kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil dan tasbih.”

     Abdullah bin Mas’ud menjawab, “hitunglah dosa-dosa kamu, aku menjamin pahala-pahala kamu tidak akan hilang sedikit pun.  Celaki kamu wahai umat Muhammad, alangkah cepat kemusnahan kamu. Para sahabat Nabi masih ramai (yang hidup), baju baginda pun belum lusuh dan bekas makanan dan minuman baginda pun belum lagi pecah.  Demi Allah, apakah kamu berada di atas agama yang lebih mendapat petunjuk daripada agama Muhammad atau sebenarnya kamu semua pembuka pintu kesesatan?”

     Mereka menjawab, “Demi Allah wahai Abu Abdul Rahman, kami hanya bertujuan baik.”

     Abdullah bin Mas’ud menjawab, “Betapa banyak yang bertujuan baik, tetapi tidak menepatinya.”

 (Hadis Riwayat Al-Darimi)

Pengajaran kisah pada zaman para Sahabat ialah tidak dibenarkan membuat cara menghitung zikir dengan mengira anak-anak batu, walhal Rasulullah telah mengajarkan menghitung dengan jari-jemari. Cara menghitung zikirnya dengan menggunakan anak-anak batu telah ditegur dengan keras oleh Abdullah bin Mas’ud.

Sebagian antara kita mungkin berfikir, ‘aduhai…, itu hanya cara menghitung zikir.’  Namun begitulah para Sahabat menjaga ketulenan agama yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w.  Kalaulah tidak kerna ketegasan-ketegasan sebagaimana Abdullah bin Mas’ud, tentulah merebak pembuat amalan agama hanya bersandarkan ‘amalan baik dan tujuannya baik’.

Di manakah kedudukan kita hari ini: Seperti Abdullah bin Mas’ud yang menjaga sunah nabi iaitu ketulenan agama atau seperti mereka yang ditegur oleh Abdullah bin Mas’ud.


Rabu, Mac 05, 2014

SALAHKAH jika artis kahwin-cerai kahwin-cerai?

APABILA artis berkahwin kemudian bercerai, berkahwin lagi dan bercerai lagi…. menjadi isu pula kepada masyarakat. Di mana-mana pun berlaku perkahwinan dan ada pula perceraian.  Perceraian bukanlah luar biasa dan suatu yang keji, malah dalam sirah Nabi s.a.w., baginda pun pernah menceraikan salah seorang isterinya iaitu Habsah binti Umar al-Khattab r.a.  Kemudian Rasulullah s.a.w. merujuk kembali kepada Habsah.  Salah satu surah dalam al-Quran dinamakan At-Talaq.  Bukan sahaja aturan mencerai isteri itu dalam surah At-Talaq, tetapi dalam beberapa surah lain.  Demikianlah Islam mengatur kehidupan masyarakat, sehingga bab perceraian suami isteri pun diberi aturan supaya tidak berlaku penzaliman kepada golongan yang lemah, di samping maruah antar suami dan isteri tetap unggul.  Namun jika aturan itu diabaikan, tampaklah perceraian sebagai kejadian yang memalukan pihak berkenaan.

foto hanya hiasan

Maksud ayat 1 surah At-Talaq: “Wahai nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertaqwa kepada Allah Tuhanmu.  Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang nyata.  Itulah hukum-hukum Allah, dan sesiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.  Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesuatu yang baru sesudah itu.”

Kata Imam Ibnu Katsir dan Buya Hamka dalam tafsir al-Quran mereka, terdapat cerai yang menuruti sunah dan cerai yang bid’ah.  Cerai yang sunah ialah yang menuruti anjuran al-Quran dan Sunah, maka yang  bid’ah adalah di balik itu.

Cerai menuruti sunah ialah si suami menceraikan isterinya dalam keadaan suci dan tidak disetubuhi sebelum menjatuhkan talaq.  Ini untuk memudahkan kiraan masa ‘iddah dan memendekkan masa ‘iddah isteri.  Pernah anak Umar al-Khattab menceraikan isterinya dalam keadaan isterinya haid, maka Rasulullah marah,

Sabda Rasulullah s.a.w. (maksudnya): “Sebaiknya dia mengembalikan dan menahannya hingga dia bersuci daripada haid. Apabila telah suci jika hendak menceraikannya, ceraikanlah dalam keadaan suci sebelum disetubuhi.  Itulah ‘iddah yang diperintahkan Allah.” (Riwayat al-Bukhari)

Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar menulis sangat jelas berkenaan pengiraan masa ‘iddah isteri yang dicerai dalam haid (bid’ah) dan dalam keadaan suci. Orang kena faham bahawa ‘iddah itu untuk menentukan sama ada isteri hamil atau tidak. Islam tidak mahu ada percampuran benih dua lelaki dalam rahim wanita.  Maka itu Rasulullah suruh mencerai saat suci dripada haid dan belum disetubuhi supaya jelas kiraan tiga kali haidnya sebagai masa ‘iddah pendek dan mempercepat wanita itu berkahwin lain. Kalau dicerai masa suci sedangkan telah disetubuhi, kemungkinan ada benih yang tumbuh dalam rahim wanita itu. Dan jika hamil, lagi panjang masa ‘iddahnya.

Kemudian, bagaimana hal isteri yang sudah dicerai? Adakah seperti yang dicontohkan dalam filem atau drama TV iaitu si ieteri dihalau atau terus dihantar ke rumah ibu bapanya?  Ayat di atas sudah menjelaskan bahawa sepanjang masa ‘iddah, isteri tidak dibenarkan keluar dari rumah suaminya (mungkin juga rumahnya bersama). Hendaklah ada ahli keluarga yang tinggal bersama mereka untuk memastikan mereka tidak tidur bersama tanpa merujuk kembali.  Selama ‘iddah itu, mungkin tiga bulan…., suami bertanggung jawab memberi layanan pakaian, makanan dan sarana sosial lain kepada isterinya dalam ‘iddah.  Cuma tidak boleh tidur bersama.  Nanti kalau sudah hampir habis ‘iddahnya, kalau mahu rujuk kembali, rujuklah. Kalau mahu terus dicerai, itu pun terserah.

Hikmahnya, sepanjang dalam ‘iddah yang kedua-dua mereka masih tinggal serumah tentulah semoga mereka berfikir panjang mengenai keadaan mereka termasuk nasib anak-anak.  Sepanjang masa ‘iddah bagaimana mereka melayan anak-anak.  Bagaimana mereka tidur berasingan.  Tentulah keadaan ini lama-lama akan menimbulkan kekesalan akibat kemarahan yang menyebabkan pergaduhan. Tentu masing-masing mengakui ada salah dan silapnya sehingga janji perkahwinan itu pecah di tengah jalan.

Jika mengabaikan hukum Allah, iaitu apabila dilafaz cerai di mahkamah terus berpisah tempat tinggal, bagaimanakah kedua-duanya boleh saling berfikir dan mahu mencari kekuatan dan kelemahan masing-masing.  Semua sudah terlepas bagai anak panah keluar busur, walhal isterinya masih ada hak di sisi suaminya selama tiga kali masa haid.


Tampak ganjil jika mengamalkan ayat 1 surah At-Talaq itu. Ya itulah sunah dalam mencerai isteri, yang memberikan hikmah-hikmah tersendiri yang manusia tak tahu. Bucu akhir ayat itu pun jelas mungkin Allah hendak memberi sesuatu yang baru setelah menuruti hukum yang ditetapkan Allah.  Kita tak tahu, walhal Allah Maha Tahu.

Sabtu, Mac 01, 2014

TIGA kaedah meminta hujan kepada Allah pada musim kemarau

APABILA musim kemarau dan orang mahukan hujan, tidak ada dalam sunah Nabi s.a.w.  untuk mengadakan solat hajat sebagaimana yang difahami oleh sebilangan orang.  Yang popular difahami ialah solat minta hujan secara berjamaah di lapangan terbuka, yang sebelumnya dibuat khutbah kepada para jamaah.  Ada pula berdasarkan sunah, kalau doa dibuat pada hari Jumaat (tepatnya sewaktu khatib berkhutbah Jumaat) tidak perlu solat  dua rakaat melainkan terus sahaja khatib berdoa di atas mimbar.  Dan yang ketiga, jika berdoa dalam masjid, maka orang yang berdoa hendaklah menaiki mimbar dan terus berdoa minta Allah turunkan hujan.

Cara pertama ialah solat istisqa.

Maksud hadis: “Telah berkata ‘A’isyah ‘orang telah datang dan mengadu kepada Rasulullah s.a.w. tentang ketiadaan hujan, maka Rasulullah s.a.w. memerintahkan orang membuat mimbar dan mereka meletakkan mimbar di tanah lapang tempat melakukan solat, dan Rasulullah s.a.w. menentukan suatu hari supaya manusia keluar  ke tempat solat itu.  Maka (pada hari yang ditentukan itu), Rasulullah s.a.w. keluar pada waktu mentari terbit, kemudian baginda menaiki mimbar lantas bertakbir dan memuji-muji Allah azza wajalla kemudian baginda bersabda, ‘Sesungguhnya kamu mengadu kekeringan negeri dan lambat hujan daripada waktunya yang biasa, padahal Allah azza wa jalla telah memerintahkan kamu meminta kepada-Nya dan Dia berjanji akan memperkenankan permintaan kamu.  Kemudian baginda berdoa: (maksudnya) “Segala puji-pujian kepada Allah yang memelihara sekalian alam. Yang maha pemurah dan penyayang. Yang mempunyai hari pembalasan. Tidak ada Tuhan (yang sebenarnya) melainkan Allah. Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.Wahai Tuhan, Engkaulah Tuhan, tidak ada tuhan (yang sebenarnya) melainkan Engkau. Engkau yang kaya sedangkan kami berkeperluan kepada-Mu. Turunkanlah hujan atas kami. Dan jadikanlah apa yang engkau turunkan itu kekuatan dan bekal bagi kami buat satu masa yang panjang.” Kemudian baginda mengangkat kedua-dua tangannya sehingga kelihatan putih ketiaknya, kemudian baginda memalingkan belakangnya menghadap orang ramai, kemudian baginda memalingkan selendangnya (sambil) baginda tetap mengangkat kedua-dua tangannya. Kemudian baginda menghadap orang ramai lalu turun dari mimbar dan solat dua rakaat (disertai orang ramai), lantas Allah swt mengadakan mega, guruh dan kilat, lalu hujan dengan izin Allah swt. (Riwayat Abu Dawud)

Cara kedua ialah berdoa ketika berkhutbah pada khutbah Jumaat.

Maksud hadis: Telah berkata Anas r.a. ‘Sesungguhnya  telah masuh seorang lelaki ke masjid pada satu hari Jumaat, pada waktu Rasulullah s.a.w. sedang berkhutbah.  Maka dia menghadap Rasulullah s.a.w. sambil berdiri lalu berkata “Ya Rasulullah, telah binasa haiwan-haiwan dan putus pelayaran. Mintakanlah supaya Allah hujani kami.” Maka Rasulullah s.a.w. pun mengangkat kedua-dua tangannya lalu berdoa “Allahumma astighna, Allahumma astighna! (Ya Allah hujani kami, Ya Allah hujani kami).” Kemudian hujan turun.’ (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Cara ketiga ialah berdoa di atas mimbar masjid.


Maksud hadis: Telah berkata Ibnu Abas r.a.: Telah datang seorang Arab gunung kepada Nabi s.a.w. lalu dia berkata, “Ya Rasulullah, saya datang dari satu kaum yang kekeringan tumbuh-tumbuhan dan keputusan air.”  Maka Rasulullah s.a.w. pun naik ke atas mimbar (dalam masjid) lantas berdoa, “Ya Tuhan, cucurkanlah atas kami hujan yang bisa melepaskan kami, yang baik buahnya, yang menyuburkan, yang rata dan lebat, dengan lekas, tidak lambat.”  Lalu Rasulullah turun.  Sesudah itu tidak seorang pun datang dari desa-desa itu melainkan berkata, “Sesungguhnya hiduplah kami.” (Riwayat Ibnu Majah).